Sukses

Komunitas Jendela, Sediakan Perpustakaan Anak Gratis

Gadis cilik berbaju putih dan bercelana jeans berlari menghampiri sebuah rumah kecil di samping warung.

Citizen6, Jakarta Gadis cilik berbaju putih dan bercelana jeans berlari menghampiri sebuah rumah kecil di samping warung. Dengan riang gadis cilik itu berkata, “Ma, Sena les dulu yaa” dan segera berhamburan dengan teman-temannya yang lain di rumah kecil itu.

Anak-anak yang tinggal di Manggarai setiap hari Sabtu dan Minggu selalu menghabiskan pagi mereka dengan bermain. Ada yang bermain tangkap balon, menggambar, atau bahkan ada yang membantu orangtuanya memandikan burung-burung peliharaannya. Semua kegiatan ini dilakukan di depan rumah kecil di samping warung, yang berada di pertigaan Jalan Manggarai Utara VI, Jakarta Selatan.

Dalam kesehariannya, anak-anak ini menjalankan aktivitas layaknya anak-anak lain. Senin sampai Jumat mereka pergi ke sekolah. Selagi anak-anak ini bersekolah, orangtua mereka pergi bekerja. Pekerjaan orangtua mereka sebagian besar adalah pemulung, namun tak jarang juga orangtua yang bekerja sebagai penjual nasi goreng, pembantu rumah tangga, dan buruh. 

“Iya kak, mamaku ibu rumah tangga dan papaku penjual nasi goreng. Mila juga papanya penjual nasi goreng,” kata Anis, gadis cilik berusia 10 tahun dengan lugu menceritakan pekerjaan kedua orangtuanya.

Apapun yang menjadi profesi dan bagaimana orangtua mereka mencari penghasilan untuk menghidupi keluarga, lantas tidak membuat anak-anak ini berkecil hati. Mereka tetap menghargai pendidikan dan sekolah, meski  hanya sampai jenjang Sekolah Menengah Pertama.

Keluarga-keluarga ini memiliki rumah di pinggiran sungai, yang tidak jauh dari perumahan yang layak untuk ditinggali. Rumah petakan mungil yang harus ditinggali oleh sekitar lima anggota keluarga ini menjadi tempat berteduh dan beristirahat semua anggota keluarga. Mungilnya rumah membuat mereka akan langsung berhadapan dengan sungai apabila ingin ke kamar mandi.

Meskipun rumah yang berada di pinggir sungai, keluarga, terutama anak-anak di Manggarai sudah melek teknologi. Ini terlihat dari anak-anak yang ingin tahu cara memotret dengan menggunakan kamera SLR lengkap dengan flash, yang waktu itu dibawa oleh salah satu pendamping. Mereka antusias men-jepret¬ hal-hal yang ada di sekitar mereka. “Saya juga punya yang kaya begitu Kak. Saya ambil ya di rumah,” kata Ramadhan, murid SDN Manggarai 04 Petang, yang sedang duduk di kelas tiga, sambil langsung berlari keluar dan masuk kembali ke rumah kecil itu, lalu memamerkannya itu kepada teman-temannya. Flash yang sudah usang dan tidak bisa dipakai lagi, tidak menutup raut wajah senangnya. Padahal yang hanya ia tahu, benda itu diberikan oleh bapaknya.

Kesadaran Pendidikan

Sepulangnya mereka dari sekolah, ada yang langsung pergi bermain, atau membantu orangtuanya bekerja sebagai pemulung. Dadan, panggilan akrab Ramadhan memilih langsung pulang ke rumah setelah sekolah. “Pulang sekolah, pulang dulu kerumah, ganti baju, abis itu  baru main,” katanya. Kesenangan inilah yang banyak ditunjukkan oleh anak-anak Manggarai. Mereka tidak merasa terbebani oleh status sosial dan ekonomi kedua orangtua mereka. Ternyata, keluarga yang tinggal di sana masih sanak saudara. Tidak heran bila melihat orang-orang yang sedang duduk dan ngobrol di depan rumah kecil di samping warung itu akrab satu dengan yang lainnya.

Rumah kecil di samping warung menjadi tempat yang ramai dikunjungi. Selain karena memang ada warung di sebelah kanan dan kirinya, rumah kecil itu juga dijadikan sebagai perpustakaan. Di sinilah anak-anak Manggarai berkumpul setiap hari Sabtu dan Minggu untuk belajar, mengerjakan tugas sekolah mereka, atau bahkan hanya sekedar bermain.

Perpustakaan itu dikenal dengan nama Komunitas Jendela Jakarta. Sama halnya dengan fungsi jendela di sebuah rumah yang memberikan penerangan dan udara yang segar ketika jendela itu dibuka, Komunitas Jendela juga ingin memberikan udara yang segar untuk anak-anak  di Manggarai, khususnya  di bidang pendidikan. Mereka diajak untuk menumbuhkan minat membaca mereka. Oleh sebab itu lah, ada empat lemari yang penuh dengan buku-buku di sana.

“Jumlah adik-adik di Manggarai tidak dapat dipastikan. Kadang yang datang bisa lima anak, kadang bisa juga sampai 20 anak. Sesuka mereka saja. Rata-rata tiap kali ada kegiatan mungkin antara delapan sampai 15 anak,” jelas Hapsari Kusumastuti, salah satu pengajar di Komunitas Jendela, yang akrab disapa Happy.  Anak-anak Manggarai di sini memang anak-anak marginal, yaitu anak-anak yang kurang beruntung dalam memperoleh pendidikan.

Kepedulian komunitas ini akan pendidikan anak-anak juga mendorong para kaum muda untuk menjadi relawan mengajar. Ada sekitar 15 sampai 20 relawan pengajar yang aktif dalam Komunitas Jendela. Bahkan tak jarang juga, komunitas ini dijadikan sebagai pedoman untuk bahan tugas akhir mahasiswa.

“Yang biasa dipelajari selain materi-materi pelajaran sekolah, kami juga mengajarkan anak-anak tentang kehidupan, agar mereka lebih siap menghadapi tantangan hidup!” ucap Happy.

Terlihat antusias mereka yang suka bertanya ke kakak pengajarnya seperti, “Kak, ini bacanya apa?”, “Kak, bisa ga gambarin ini”. Dengan sabar kakak-kakak pengajar itu menjawab satu per satu pertanyaan mereka dan meladeni mereka, karena ini juga bekal ilmu untuk anak-anak itu.

Uniknya, tidak hanya anak-anak yang datang belajar di perpustakaan itu. Sesekali ibu-ibu yang ada di sekitar rumah kecil itu juga ikut nimbrung. Tetapi bukan untuk memantau anak-anaknya belajar, melainkan ibu-ibu ini juga ikut belajar membaca. Kesadaran dan  minat mereka akan membaca juga sama tingginya dengan anak-anak.

Dalam usahanya menumbuhkan minat membaca dan meningkatkan kesadaran akan pendidikan, Komunitas Jendela menyediakan program beasiswa untuk anak-anak yang berpretasi. Beasiswa yang diberikan ini diberikan nama Kakak Asuh. “Program beasiswa Kakak Asuh itu untuk adik-adik asuh di perpustakaan dan di sekitar perpustakaan,” jelas Heri Yanti, salah satu pengajar di perpustakaan itu dan sekaligus sebagai pencetus program Kakak Asuh. Anggarannya per bulan adalah Rp. 100.000,- untuk anak SD dan Rp. 200.000- untuk anak SMP. “Kenapa hanya segitu? Dari yang kecil saja bisa berbagi, Rp. 100.000,- buat kita bisa saja buat beli pulsa atau nonton bioskop dua kali di weekend. Tapi bagi adik-adik tersebut, Rp. 100.000,- bisa buat beli perlengkapan alat tulis dan sebagainya,” lanjutnya.

Anak-anak yang kurang beruntung dalam memperoleh pendidikan tersebar luas di Indonesia. Kepedulian kaum muda memberikan dorongan untuk membuka jendela-jendela lainnya. Komunitas Jendela tersebar di Pulau Jawa, seperti Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Semarang, dan Malang.

Keluarga-keluarga di Manggarai sadar akan pentingnya pendidikan untuk anak-anak mereka. Komunitas Jendela Jakarta memberikan kesempatan untuk anak-anak bahkan sampai orang dewasa di Manggarai untuk  menumbuhkan minat membaca dan memperoleh pendidikan, yang tentunya akan berguna bagi kehidupan mereka kelak.

Pengirim:

Stella Oktaviani Witanto
London School of Public Relations - Jakarta
line : laurentstella


Disclaimer:

Citizen6 adalah media publik untuk warga. Artikel di Citizen6 merupakan opini pribadi dan tidak boleh menyinggung SARA. Isi artikel menjadi tanggung jawab si penulisnya.

Anda juga bisa mengirimkan link postingan terbaru blog Anda atau artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas, kesehatan, keuangan, wisata, kuliner, gaya hidup, sosial media, dan lainnya keCitizen6@liputan6.com.

Mulai Selasa, 9 Mei  2014 sampai dengan 25 Mei 2014, Citizen6 mengadakan program menulis bertopik dengan tema "Pengalaman Pertama Berinternet". Ada 2 router DLink (DIR-605L) untuk 2 orang pemenang  dan 4 merchandise ekslusif dari Liputan6. com. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.  Program menulis bertopik kali ini disupport oleh @DlinkID
 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini