Sukses

Ketika Anak Tak Berprestasi di Sekolah, Apa yang Salah?

Akibat dari tuntutan ini, banyak anak kehilangan masa kanak-kanak yang indah yang akan membentuk kepribadian mereka.

Citizen6, Jakarta Di globalisasi saat ini, gaya hidup modern menuntut kita untuk menunjukkan jati diri yang lebih atau minimal setara dengan lingkungan kita bila tidak mau tersisihkan. Sehingga dalam upaya mengikuti gaya hidup modern banyak diantara orangtua menyekolahkan anak pada sekolah-sekolah bergengsi taraf international. Demi gengsi orang tua anak dipaksa untuk belajar keras dan mencurahkan seluruh waktunya untuk mendapatkan prestasi yang menonjol.

Akibat dari tuntutan ini, banyak anak kehilangan masa kanak-kanak yang indah yang akan membentuk kepribadian mereka. Kegembiraan dan keceriaan bersosialisasi sesama kanak-kanak seharusnya menjadi kenangan indah saat mereka dewasa kelak. Sama seperti yang kita rasakan saat ini.

Mungkin masih terbayang jelas dibenak kita kegembiraan bermain engklek, main patok lele, lompat tali, hompimpah, dakocan, dan petak galah yang kita mainkan setiap sore bersama kawan-kawan, atau indahnya makan rujak atau jambu dibawah pohon dimalam bulan purnama.

Kita juga pasti dengan heboh bercerita kebersamaan yang kita lakukan dulu saat reuni dengan berbagai cerita, bertamasya ke pantai, hiking atau camping ke gunung yang semuanya tidak lagi menjadi bagian kisah hidup anak-anak kita yang terlena oleh gadgetnya yang kita beli dengan harga jutaan namun kontribusinya bagi masa depan dan kepribadian anak kita dapat dikatakan tidak ada (kalau kita enggan mengakui bahwa lebih banyak negatifnya dari positifnya).  

Disisi lainkenyataan hidup kadangkala memaksa kita untuk menerima kenyataan bahwa tidak setiap anak memiliki kemampuan sama dan dapat berprestasi disekolah, dan ini sangat memukul harga diri kita sebagai orang tuanya sehingga kadangkala kita melakukan tindakan yang justru semakin membuat anak terpojok dan semakin tenggelam dalam ketidakmampuannya.

Saya sebagai pelaku sosial yang telah bekerja bersama anak-anak sejak 1994, menemukan dalam berbagai kasus berbeda bahwa anak-anak yang mengalami situasi tersebut sebenarnya merasa sangat putus asa karena meskipun mereka bertekad untuk belajar keras untuk tidak mengecewakan orang tua mereka namun kenyataannya tetap mengecewakan. Padahal bukanlah salah mereka bila mempunyai otak yang tidak secerdas Habibie, sebijak Kahlil Gibran.

Biasanya jika sudah demikian maka kita belum cukup memberi siksaan predikat bodoh pada si anak, tapi juga kita tambah lagi dengan berbagai Tes IQ dan lainnya yang ikut menentukan nasib mereka dimasa depan padahal yang sebenarnya kalau ditimbang dengan mendalam hasil tes tersebut nyaris tidak mampu menunjukan kelebihan, kekurangan dan kebutuhan belajar mereka. Dan inilah yang membuat saya tidak mampu berdiam diri melihat rasa percaya diri anak-anak seperti itu semakin terpuruk, diremehkan, mendapat perlakuan salah dan lainnya yang akan membawa masa depan kelam bagi mereka.

Kita lupa bahwa pada hakikatnya Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda satu sama lainnya dan ini juga berlaku bagi kemampuan otaknya, sehingga untuk mengatasi disfungsi otak ini perlu adanya perlakuan yang berbeda pula, dan hal itu tidak akan kita dapatkan pada sekolah formal bahkan yang bertaraf international sekalipun.

Jadi ketika anak kita tidak berprestasi di sekolah, jangan terlalu cepat memberi dia predikat bodoh atau malas, kenali permasalahan anak anda, dekati ia, bicaralah sebagai sahabatnya, bukan diktator atau atasan yang kata-katanya harus selalu dituruti dan kata-katanya saja yang benar, bisa jadi masalah fisik seperti fungsi mata yang kurang sempurna bisa juga menjadi hambatan anak dalam menyerap pelajaran.

Dalam kasus yang saya tangani di Bimbel Gratis, saya menemukan 2 orang anak yang mengalami masalah sama, mereka berpredikat bodoh dan nakal padahal mereka tidak bisa melihat tulisan guru didepan sehingga melihat apa yang ditulis temannya, dan ini dianggap menyontek oleh guru karena malas dan bodoh, saat ia kedepan agar melihat tulisan lebih jelas, maka guru akan menganggap ia nakal jalan-jalan saat sedang disuruh menulis mengerjakan tugas, jadi semua serba salah bagi anak.

Pada kasus lain yang lebih parah adalah disfungsi otak yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor penyebab dan ini membutuhkan waktu lebih lama untuk mengenalinya dan menanganinya, namun dengan penanganan yang baik dan tulus serta kesabaran yang besar maka anak-anak yang mengalami disfungsi otak akan dapat berprestasi dan menunjukkan kelebihannya sendiri yang akan membuat kita terkagum-kagum.

Butuh waktu lama bagi saya untuk mengetahui apa yang saya lakukan itu merupakan serangkaian terapi psikologis, setelah membaca buku A Mind at a time karya Mel Levine, M.D. baru menyadari hal tersebut dan dapat menjelaskannya secara ilmiah.

Hal tersebut diatas merupakan salah satu alasan didirikannya Pusat Belajar Anak dan dengan dukungan mitra dan donatur yang peduli pada pendidikan anak maka akan didirikan Pusat Belajar Anak lainnya didaerah lainnya di Indonesia, misalnya di Kalimantan, Sulawesi, NTB, NTT dan Irian Jaya. Tanpa adanya dukungan donatur tetap dan mitra tetap maka program untuk membantu anak-anak tersebut hanya akan menjadi konsep belaka.

Penulis:

Teuku Syafrizal

Founder YPKGM
BLog: Raja Ubit

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini