Sukses

Kisah Bau Tangan Sudhana dan Waisak

Suatu hari, Sidharta Gautama bersama salah satu muridnya, Sudhana berjalan-jalan. Bertemulah mereka dengan seorang penjual ikan.

Liputan6.com, Jakarta Suatu hari, Sidharta Gautama bersama salah satu muridnya, Sudhana berjalan-jalan. Bertemulah mereka dengan seorang penjual ikan. Tanpa menjelaskan alasannya, Sidharta menyuruh Sudhana yang berdaya ingat luar biasa itu memegang tali penggantung ikan dan mengingat baunya. "Baunya nggak enak. Sama kayak bau ikan," kata Sudhana.

Mereka lalu melanjutkan perjalanan. Hingga bertemu dengan penjual minyak wangi. Lagi-lagi Sudhana disuruh memegang kertas berminyak wangi itu tanpa alasan."Nah, kalau yang ini baunya wangi," kata Sudhana.

Setelah beristirahat, Sidharta bercerita bahwa menjalin pertemanan seperti memegang tali atau kertas itu. Pertemanan dengan orang jahat, suatu ketika pasti akan tertular baunya seperti bau amis ikan. Sementara berteman dengan orang-orang yang baik, pasti akan selalu mendapatkan cipratan kebaikan dari mereka.

Cerita ini bisa kita temui di relief Candi Borobudur. Tepatnya rangkaian relief kelima dan terakhir yang berada di sebelah atas. Relief ini digunakan sebagai sumber inspirasi yang disebut Gandavyuha. Secara garis besar ukiran ini mengandung cerita Sudhana, yang berguru dari satu guru ke guru lain dalam upaya mencari pencerahan.

Sebagian besar relief memperlihatkan adegan pemuda itu bepergian dengan berbagai transportasi termasuk kereta kuda dan gajah, serta adegan ketika dia berlutut di hadapan para gurunya (kalayanamitra, atau "teman baik"), baik laki-laki, perempuan, anak-anak dan Bodhisattvas. Penjelajahan Sudhana berakhir di Istana Maitreya, Buddha di masa depan, di puncak gunung Sumeru, di mana dia diberi pelajaran dan memiliki berbagai pandangan.

Rangkaian terakhir relief yang terdapat di teras bagian atas diambil dari lanjutan teks ini, yang disebut Bhadracari, di mana Sudhana bersumpah untuk menjadi Bodhisattva, dan mengikuti contoh Bodhisattva tertentu bernama Samantabhadra. Dan kemudian selanjutnya, Raja Buddha akan datang, yang akan menerima pencerahan di masa depan, seperti Raja Maitreya yang mulia dan seterusnya, dan akhirnya Samantabhadra, Sang Buddha Masa Depan.

Penempatan rangkaian relief pada tingkat paling tinggi dari candi menunjukkan bahwa ini merupakan teks yang paling dihormati oleh pendiri Borobudur. Adegan-adegan relief kelihatannya didesain untuk mendorong para peziarah agar mengikuti contoh Sudhana ketika memanjat gunung, yang melambangkan tujuan dan sumber kebijaksanaan tertinggi.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

selanjutnya

Memilih teman, seperti di awal tulisan ini, memang  menjadi penekanan dalam ajaran agama. Buddha mengajarkan Sudhana bahwa pergaulan dengan orang baik akan membawa kebaikan dan dengan orang yang buruk akan membawa keburukan. Ajaran itu bukan berarti membatasi manusia terlalu ketat dalam bersosialisasi dengan sekitar.

Tentu tak gampang. Jika gampang mestinya para jomblo akan memilih teman hanya yang rajin mentraktir. Jika gampang tentu banyak yang memilih bisa hang out bareng Chakra Khan, Afgan, Rossa, Agnez Mo atau bahkan Kaesang yang anak Presiden Jokowi itu. Bukankah mereka orang-orang baik yang cantik dan ganteng? Kaya dan ngetop pula. Tapi memang semua tak gampang, karena "baik" tak memiliki standar jelas.

Tiap manusia punya standar sendiri. Kemudian karena harus milih yang baik, maka saat Pilkada, Pemilu, Pilpres pasti ogah memilih calon yang memiliki "teman" koruptor. Belum lagi sederet peristiwa lain. Tapi memang semua sudah seperti sikap Dharmacakramudra. Mudra (posisi tangan) yang memutar roda dunia. Kedua tangan ditahan di dada, tangan kiri di bawah tangan kanan, dan diputar ke atas dengan jari manis menyentuh ibu jari, sedangkan jari manis tangan kanan menyentuh jari kelingking kiri. Posisi tangan yang demikian memberi kesan perputaran roda, dan dihubungkan dengan Vairocana, Dhyani Buddha Puncak.

Dalam sebuah kepercayaan lain, keseimbangan dunia diyakini dalam sebuah simbol taiji, lingkaran setengah hitam setengah putih. Atau disebut Yin dan Yang. Di area hitam ada lingkaran putih kecil, demikian pula dengan lingkaran putih ada lingkaran kecil berwarna hitam.

Jika dikaji lebih lanjut, Yin dan Yang menjadi satu bagian yang saling melengkapi. Yin tidak akan mendominasi Yang, begitu pun sebaliknya. Jika aturan itu dilanggar, akan ada konsekuensinya. Biarkan “hitam” tetap ada, sebab “putih” membutuhkannya.

Edhie Prayitno Ige, penulis, guyonis. Tinggal di Tanjungsari Semarang.

Twiter : @edhiepra1‎

**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini


**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.