Sukses

Belajar soal Sejarah Condet bersama Komunitas Betawi Kita

Liputan6.com, Jakarta - Suasana Kafe Rumah Langit di Jalan al Bariyah, Kampung Tengah, Condet, sore itu, 16 Oktober 2016, lebih penuh dibanding biasanya. Bangku-bangku yang ada di dalam kafe tak ada yang kosong. Sebagian yang hadir malah berdiri.

Tujuan mereka datang pada sore itu adalah untuk mendengarkan sejarah mengenai awal mula lahirnya orang Betawi wabil khusus di Condet dan sekitarnya dari para pakar sejarah dan budaya Betawi.

Hadir sebagai pembicara Dr Hasan Djafar, ahli arkeologi dan sejarah kuno Indonesia yang juga tim ahli cagar budaya nasional. Dalam kesempatan itu doktor Hasan Djafar didampingi Hendy selaku tokoh masyarakat Condet. Duduk sebagai moderator adalah Roni Adi, penggagas Betawi Kita yang juga Ketua Sikumbang Tenabang.

Dalam diskusi yang berlangsung hangat dan meriah itu, para peserta mendapatkan pengetahuan baru mengenai situs-situs prasejarah di daerah aliran Sungai Ciliwung, yakni Condet dan sekitarnya.

Hasan Djafar mengungkapkan berdasarkan lingkungan geologi dan geografisnya, daerah Jakarta memiliki kedudukan yang sangat strategis dan potensial. Sebab, Jakarta merupakan daerah endapan alluvial yang terbentuk sebagai hasil kegiatan vulkanik yang berasal dari gunung berapi yang ada di sebelah selatannya, yakni Gunung Salak, Gunung Gede, dan Gunung Pangrango.

Kebun salak Condet. (Nanda Perdana Putra/Liputan6.com)

Setelah itu dimulailah proses endapan alluvial di pinggir sungai--di Jakarta sendiri ada 12 sungai--pada 5000 tahun SM. Adapun hasil penggalian di daerah Condet pada periode 1970-an menunjukkan bahwa manusia prasejarah sudah bermukim di Condet sejak 3000 SM.

Penegasan ini sangat penting karena ini membuktikan bahwa penduduk asli Jakarta adalah orang Betawi yang lahir dan berkembang biak di tepi sungai. Selain itu, penelitian ini juga mematahkan klaim yang menyebutkan bahwa Kota Batavia adalah kota kosong sebelum datang Belanda untuk merebutnya.

Penduduk asli itulah yang kemudian kawin dan bercampur dengan para pendatang dari berbagai etnis, sehingga kemudian menghasilkan suatu suku bangsa dengan identitas yang khas yang disebut Betawi.

Ketika ditanya apa ciri khas masyarakat Betawi utamanya yang hidup di Condet, Hasan Djafar mengatakan, "Ya, seperti yang terlihat dari benda peninggalannya saja. Bahwa pada 3000 SM-1000 SM, mereka sudah mengenai konsep bercocok tanam dan lalu perundagian (bertukang). Ada pemimpinnya, karena bercocok tanam saat itu berpindah-pindah, dan untuk bertukang ada pembagian tugas."

Dari hasil penggalian yang digagas Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan--kini Pusat Arkeologi Nasional--bekerja sama dengan Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia, antara tahun 1971 hingga 1990 diketahui ada 161 situs prasejarah yang tersebar di seluruh wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya.

Adapun dari penelitian di situs Condet Balekambang oleh Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta pada 1976-1980 ditemukan artefak bersejarah seperti pecahan gerabah berhias dan tak berhias, pecahan beliung persegi, serpihan batu, batu fosil, terakota, dan temuan mata panah. Temuan ini penting karena mengindikasikan adanya kegiatan bercocok tanam dan berburu di daerah sekitar Sungai Ciliwung.

Salah satu temuan arkeolog dari kehidupan 3000 SM di Condet, Jakarta Timur (Liputan6.com/Fajriah)

Pertanyaannya, manusia purba jenis apa yang pertama kali menghuni Kota Jakarta? Dari hasil penggalian sisa-sisa kerangka manusia di sepanjang daerah pantai utara Bekasi dan Karawang, Hasan Djafar menyebut bahwa "masyarakat prasejarah penghuni awal daerah alluvial yang subur itu berasal dari ras Mongoloid."

Hasil penelitian itulah yang kemudian menjadi dasar bagi Ali Sadikin--Gubernur DKI Jakarta periode 1966-1977--untuk menetapkan Condet sebagai kawasan cagar budaya Betawi. Termasuk melestarikan salak Condet sebagai buah asli Jakarta.

Meski demikian, seperti dikritisi Hendy, kebijakan Bang Ali itu justru merugikan masyarakat Condet karena hanya melahirkan mafia-mafia tanah. Kebijakan itu pun kini dianggap sebagai kebijakan yang gagal. "Nama-nama gang yang tadinya dari tokoh masyarakat Condet dihapus, diganti dengan nama baru," ujarnya protes.

Menanggapi hal itu, JJ Rizal, sejarawan Betawi, menegaskan niat baik Bang Ali terhadap penetapan Condet sebagai cagar budaya musti dihargai.

"Sebab meski mungkin usahanya tak berjalan lancar lantaran Bang Ali keburu dicopot, Bang Ali adalah satu-satunya gubernur yang bukan orang Betawi tapi mau mendekat kepada orang Betawi dan memajukan Betawi," kata dia menandaskan

Komunitas ini terbuka bagi siapa saja yang mau belajar soal Betawi dan diikuti oleh wartawan, sejarawan, penulis, budayawan maupun peminat sejarah Betawi-Jakarta (foto: Rahmad Sadeli)

Betawi Kita adalah organisasi nonprofit yang menjadi wadah bagi siapa pun untuk belajar soal Betawi. Peminatnya datang dari berbagai kalangan, termasuk wartawan, sejarawan, budayawan, aktivis, dan seniman Betawi.

Roni Adi, salah satu founder Betawi Kita, menyatakan Betawi Kita bertujuan untuk membicarakan Betawi di tengah pentas nasional dan internasional. Acara diskusi Betawi Kita diadakan setiap bulan pada minggu kedua dengan tema yang beragam. Sebelumnya Komunitas Betawi Kita sudah pernah mengangkat tema asal-usul orang Betawi, orang Betawi dan sungai, serta orang Betawi dan Banten.

Ingin tahu lebih banyak soal Betawi Kita? Cek Facebook Betawi Kita dan lihat unggahan hasil diskusinya di YouTube Betawi Kita.

**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini

**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini