Sukses

Tragedi Fukushima dan Pembangunan PLTN di Indonesia

Tragedi ledakan reaktor nuklir di PLN Fukushima, Jepang, pascagempa dan tsunami, sempat membuat dunia merinding. Mungkinkah teknologi nuklir dapat diterapkan di Indonesia guna memenuhi kebutuhan listrik?

Citizen6, Yogyakarta: Selasa 22 Maret 2011 sore, ditemani hujan deras di wilayah Kampus Teknik UGM, diadakan sebuah kajian dengan tema yang sangat ramai diperbincangkan orang. Bukan masalah politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, atau isu-isu lain, bukan juga tentang gayus. Kajian tersebut bertema Menyibak Fakta di Balik Ledakan PLTN Fukushima dan Urgensi pembangunan PLTN di Indonesia. Dua tema pokok dalam kajian tersebut akan saya angkat dalam tulisan kali ini. Menarik memang, sehingga acara ini ramai didatangi orang meski suasana sedang hujan.

Pembicaraan dimulai dari fakta yang terjadi di Lapangan tentang PLTN Fukushima pascagempa dan tsunami. Diskusi tersebut dibuka oleh Dr.Ir. Andang Widi Harto, MT, dosen Teknik Nuklir UGM dan pakar nuklir Indonesia. Diskusi berlangsung menarik dan cukup untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di PLTN Fukushima yang selama ini simpang siur.

Pada dasarnya, di daerah timur Jepang terdapat empat lokasi PLTN, antara lain di Onogawa, Fukushima daichi, Fukushima Daini, dan Tokodaini. Dari keempat lokasi PLTN, letak yang paling dekat dengan pusat gempa yakni Onogawa yang terdapat dengan empat reaktor PLTN. Hingga tulisan ini dibuat, dan berdasarkan uraian dari pembicara Dr. Andang tidak ada kerusakan dalam PLTN di Onogawa.

Sedangkan di Fukushima Daichi, yang sekarang sedang dalam proses penanganan dan ramai diperbincangkan, menurut beliau ada enam reaktor PLTN. Jika kita melihat peta, PLTN di Fukushima daichi, terletak di bukit, yang tingginya 20 meter dari permukaan laut, dengan tinggi reaktor berkisar 50 meter.

Sebelumnya saya jelaskan bahwa jenis PLTN Fukushima Daichi merupakan jenis reaktor BWR (Boiling Water Reactor). Reaktor jenis ini dibangun diakhir tahun 60an dan beroperasi tahun 70an, dengan masa operasi 40 tahun. Nah saat gempa terjadi, praktis batang kendali reactor berhenti, batang kendali ini merupakan penyerap neutron, dan secara otomatis akan naik keatas, reaksi nuklir berhenti, dan aspek ini sesuai dengan SOP dalam PLTN di dunia. Meskipun reaksi nuklir berhenti, masih terdapat 7% sisa peluruhan radioaktif, untuk PLTN di Fukushima yang berdaya 1500MW, masih terdapat 7% dari 1500 MW atau berkisar 107 MW yang masih meluruh.

Jika nilai diatas terbilang besar dibandingkan dengan reaktor nuklir riset di Indonesia yang terletak di Serpong Tanggerang, GA Siwabessy hanya 30 MW. Dalam kondisi semacam ini reaktor fukushima, maka salah satu sistem pendinginan yang disebut dengan RHRS (Residual Heat Removal System) akan mulai beroperasi (aspek ”Cool”). RHRS ini berfungsi untuk mengalirkan air pendingin ke dalam reaktor sehingga bahan bakar tidak menjadi terlalu panas. Karena Fukushima adalah reaktor buatan tahun 60-an, kemungkinan sistem RHRS ini berfungsi secara aktif. Artinya untuk mengalirkan pendingin diperlukan pompa yang jelas membutuhkan energi listrik.

Sistem ini kenyataannya berfungsi. Akan tetapi sekitar satu jam kemudian, generator listrik cadangan untuk menjalankan pompa tidak berfungsi karena ada tsunami. Akibatnya aliran pendingin menjadi tidak efektif. Akibatnya lagi panas yang dihasilkan di bahan bakar akibat peluruhan radioaktif tidak bisa ditransfer ke pendingin dengan baik dan menyebabkan naiknya temperatur bahan bakar dan pendingin.

Ada dua fenomena yang kemudian dapat terjadi. Pertama, dengan naiknya suhu pendingin, ada kemungkinan terjadi proses penguapan/pendidihan jika suhu pendingin melebihi titik saturasinya. Jika proses ini berkelanjutan, akibatnya adalah bagian atas dari reaktor menjadi tidak tertutupi cairan, akan tetapi uap air. Jika telah terjadi kondisi semacam ini, maka kemungkinan terjadinya pelelehan bahan bakar menjadi besar. Jika bahan bakar meleleh, maka material radioaktif yang tadinya ada di bahan bakar akan ikut terlepas ke sistem pendingin. Kedua, seiring dengan naiknya suhu bahan bakar, suhu selongsong juga ikut naik. (Selongsong adalah material yang membungkus bahan bakar, terbuat dari paduan logam Zirkonium).

Dalam kondisi normal suhu selongsong berkisar antara 330-350 derajat Celsius. Akan tetapi, pada suhu yang tinggi di atas 900 derajat Celsius, zirkonium akan mengalami oksidasi karena beraksi dengan air pendingin.

Dari reaksi tersebut, terlihat bahwa akan dihasilkan gas hidrogen. Laju reaksi pembentukan hidrogen ini sangat tergantung dari suhu, semakin tinggi suhu, semakin banyak hidrogen yang dihasilkan. Jadi di sini ada dua jenis material berbentuk gas yang kemungkinan terbentuk, yaitu uap air dan hidrogen. Peningkatan itu, menyebabkan tekanan dalam reaktor meningkat (pressurization). Tekanan yang terlalu besar akan membahayakan integritas struktur reaktor. Oleh karena itu, operator Fukushima melakukan venting, atau membuka PRV (pressure relieve valve, katup penurun tekanan) dengan harapan tekanan di reaktor berkurang. Dengan proses venting ini, maka baik uap air maupun hidrogen akan terakumulasi di antara sungkup reaktor (terbuat dari baja) dan bangunan reaktor (beton). Hal tersebut terjadi di reactor 1 dan 3 yang atap reaktornya rusak.

Lain halnya di reaktor empat. Sebelum terjadi gempa dan tsunami, sedang perbaikan, sehingga reaktor tidak terdapat bahan bakar atau isinya. Ketika tidak ada air, zirkonium yang merupakan bahan selongsong bahan bakar berekasi dengan udara, yang memicu pemanasan air dibawahnya sehingga menjadi uap, tekanan uap mengenai zirkonium menimbulkan reaksi sehingga memicu terjadinya kebakaran di reaktor empat.

Dari serangkaian permasalahan yang terjadi di dalam PLTN Fukushima Daichi, terdapat kesalahan design pembangunan PLTN, pertama peletakan mesin diesel yang lebih rendah dibawah permukaan laut, posisi ini lebih rendah dibanding letak reaktornya, sehingga saat terjadi tsunami, disel terendam air tsunami sehingga menyebabkan kerusakan dan tidak bisa bekerja untuk mendinginkan teras reaktor. Sedangkan bangunan sendiri telah didisain dengan standar tahan gempa hingga 9 SR. Hal tersebut tampak, tidak ada kerusakan berarti dari bangunan reaktor meski terjadi gempa dengan skala 9 SR.

Selanjutnya, banyak orang juga berfikir, apakah yang terjadi di Fukushima ini akan seperti yang terjadi di Chernobyl Rusia, tahun 1986, yang menyebabkan seluruh masyarakat dunia ketakutan.

Menurut Andang, kondisi antara yang terjadi di Fukushima dan Chernobyl sangat berbeda. Dalam sistem PLTN, terdapat beberapa komponen, salah satunya moderator, nah yang terdapat di Chernobyl, moderatornya merupakan Grafit dan Air. Pada dasarnya, secara teori, paduan grafit dan air sangat dilarang dalam teknologi nuklir, karena reaksi grafit dan air sangat reaktif. Pada Chernobyl, PLTN di deisain semakin panas makin kuat dan bertenaga, kondisi ini juga sangat tidak disarankan dalam PLTN.

Beda halnya Fukushima, didisain makin panas, makin tidak bertenaga. Saat terjadi ledakan di Chernobyl, reaktor tidak dimatikan, ini tidak sesuai SOP pengoperasian PLTN. Akibatnya separuh bahan bakar nuklir di reaktor keluar dan terbang keatas yang menyebabkan radiasi tinggi, separuh bahan bakar lagi meleleh ke tanah, yang menyebabkan radiasi berkepanjangan. Sedangkan di Fukushima tidak sampai terjadi bahan bakar yang meleleh ambles kedalam tanah dan terbang keluar yang menyebabkan radiasi tinggi, yang terjadi hanya kebocoran radiasi akibat keterlambatan suplai air pendingin.

Di bagian sesi kedua dari tulisan ini, akan dibahas seputar perkembangan teknologi nuklir di Indonesia, informasi ini sangat diperlukan, mengingat bangsa kita ini sebuah bangsa yang besar. Perkembangan nuklir dimulai saat terjadi bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, yang akhirnya ikut membantu Indonesia merdeka dari Jepang.

Nuklir sendiri telah dikenalkan pada sejumlah Universitas di Indonesia, melalui program studi Fisika Atom, Kimia inti, dan sejak tahun 1977 telah ada Teknik Nuklir di UGM, yang dengan serius mendalami ilmu kenukliran secara teknik. Tidak hanya itu, terdapat pula dua badan nuklir di Indonesia yang secara mandiri mengkaji dan meneliti nuklir yaitu BATAN dan BAPETEN, yang langsung berada di jalur komando Presiden RI.

Sekilas, konsumsi energi listrik di Indonesia mencapai nilai 30 Ribu MW, dan konsumsi energi yang besar tersebut masih dirasakan 60 % penduduk di Indonesia, masih sering kita melihat masyarakat pelosok Indonesia, khusuanya wilayah timur belum bisa menikmati listrik. Diperkirakan, konsumsi listrik Indonesia terus mengalami kenaikan, ini didukung pula oleh kebijakan pemerintah jangka panjang.

Demi mensukseskan lima besar kekuatan ekonomi dunia tahun 2025. Tentunya untuk mewujudkan nilai tersebut, industrialisasi di Indonesia terus digerakkan, konsumsi listrik tentu juga akan meningkat, selama ini kita ketahui bahwa, kita masih mengandalkan ekspor SDA sebagai bahan baku, masih belum bisa mengandalkan ekspor barang jadi yang lebih bernilai secara ekonomi. Demi mewujudkan kekuatan ekonomi terbesar di dunia, maka di pemerintah menggenjot sector industry untuk bisa memproduksi barang jadi yang lebih bernilai ekonomi.

Dengan rencana tersebut, diperkirakan Indonesia membutuhkan konsumsi listrik mencapai 100 ribu megawatt.Guna mengurangi defisit konsumsi listrik tersebut, diperlukan sumber energi alternative. Beragam sumber energi listrik dikembangkan. Mulai dari, batu bara, minyak dan gas alam, geothermal, angin, air, matahari, hingga biomass.

Kalkulasi tiap potensi dari sumber sumber energi batu bara, minyak bumi dan gas alam, diprediksi mampu bertahan hingga 20-25 tahun ke depan. Geothermal mempunyai potensi eksplorasi 20 ribu MW, Angin mempunyai potensi ekplorasi 10 ribu MW, air mempunyai potensi eksplorasi 70 ribu MW, Biomass, mempunyai potensi 20 ribu MW. Dari potensi energy alternative tersebut, yang bisa tereksplorasi hingga tahun 2025 hanya mencapai 30% dari total potensi yang ada, ini sangat dimungkinkan, karena dalam sistem PLTU, hanya 30% efisiensi, dan ini juga wajar terjadi dalam teknik. Artinya sumber alternatif dari Geothermal hanya 6 ribu MW, Angin sekitar 3 ribu MW, Air sekitar 21 ribu MW, biomass, sekitar 6 ribu MW. Jika semua energy alternative tersebut dikalkulasi, berkisar antara 40 ribu MW. Nilai tersebut masih belum mencukupi kebutuhan listrik yang defisit 70 ribu MW.

Pilihan dijatuhkan pada batu bara dan minyak bumi serta gas alam. Namun ketersediaan sumber energi tersebut hanya bisa dinikmati 20-25 tahun karena cadangan sumber daya alam tersebut sudah menipis. Masih terdapat dua alternatif jika kita ingin menghasilkan listrik, sumber energy tersebut bisa berasal dari nuklir atau membangun jaringan listrik interkoneksi se-ASEAN.

Tentu saja masih banyak prokontra soal pembangunan PLTN di Indonesia. Jika tidak ingin nuklir, maka pilihan terakhir adalah membangun jaringan listrik interkoneksi ASEAN. Konsep ini artinya, kita akan menyuplai listrik nasional dengan import listrik dari Negara tetangga seperti, Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, atau Filiphina. Jika kita ketahui, negara-negara tersebut, telah merancang pembangunan PLTN.

Dari serangkaian cerita tersebut, cerita yang terungkap dari kajian bersama Dr. Ir. Andang Widi Harto, MT. Terdapat kesimpulan, bagaimana masyarakat, bangsa, dan negara ini menyiapkan sumber untuk konsumsi listrik nasional, atau kita kembali ke zaman batu, tanpa listrik. Kalau kita juga membangun PLTN dan memilih opsi nuklir, maka tentu segala aspek keselamatan akan didahulukan, mulai pemilihan tempat PLTN yang bebas bencana alam, hingga disain PLTN dengan teknologi terbaru.(Pengirim: Alfian Nur Mujtahidin * Mahasiswa Teknik Fisika Universitas Gadjah Mada)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.