Sukses

Umat Paroki Haumeni Kekeringan Air

Umat Paroki Haumeni saat ini sedang mengalami kekeringan air. Paroki ini berada di daerah pegunungan yang berbatu-batu dan kering, sehingga menyulitkan masyarakat untuk bertani dan mendapatkan sumber bersih yang tidak mengering.

Citizen6, Atambua: Penyataan yang tidak bisa dipungkiri adalah bahwa Umat Paroki Haumeni saat ini sedang mengalami kekeringan air. Paroki Kristus Raja Haumeni adalah bagian dari Keuskupan Atambua, Kabupaten Timor Tengah Utara (TUU). Paroki ini terletak di bagian utara kira-kira 24 km dari jantung Kota Kefamenanu, ibu kota Kabupaten TTU dan berbatasan langsung dengan Negara Republik Timor Leste. Dilihat dari sudut topografi, Paroki ini berada di daerah pegunungan yang berbatu-batu dan kering, sehingga menyulitkan masyarakat untuk bertani dan mendapatkan sumber bersih yang tidak mengering.

Pada musim hujan masyarakat bisa bertahan hidup dengan sebuah sumber mata air yang mereka namakam Oele Matan, terletak persis di belakang gedung gereja Katolik Kristus Raja Haumeni . Tetapi di musim kemarau seperti ini, masyarakat  sangat sulit untuk mendapatkan air minum sebab sumber mata air itu perlahan-lahan mengering. Manurut warga setempat, sumber mata air ini mengalami kekeringan setiap tahun. Tetapi pada 2012 ini, kekeringan air jauh lebih dahsyat dari pada tahun-tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh rusaknya ekologi di wilayah ini.

Akan tetapi dalam pikiran masyarakat, kekeringan air ini terjadi disebabkan oleh adat istiadat yang tidak beres. Masyarakat masih memiliki kepercayaan yang sangat kuat kepada tradisi leluhur mereka ,sebab Oele Matan memiliki sejarah. Menurut legenda sumber mata air ini milik suku Suni-Oetpah, sebab nenek moyang suku inilah yang berdoa dan muncullah sumber mata air ini. Tetapi akhir-akhir ini suku-suku lain pun mengklaim bahwa Oele Matan adalah milik nenek moyang mereka. Sehingga terjadilah kekeringan air yang hebat seperti yang terlihat sekarang ini.

Masyarakat mengamati dan turut merasakan bahwa kekeringan air di wilayah ini pada 2012 ini sungguh sangat memprihatinkan. Mulai pagi sampai sore hari bahkan sejak sore hingga pagi hari, kembali masyarakat terus antri sesuai dengan daftar. Antrian ini hanya untuk mendapatkan satu jerigen atau bahkan ada yang hanya mendapatkan satu gayung air. Bahkan dengan hanya diterangi oleh pelita, para warga hingga malam hari tetap mengantri.

Warga menuturkan bahwa air yang mereka timba setelah sampai di rumah masih harus disimpan dulu selama dua hari. Sesudah itu baru disaring untuk dikonsumsi. Setiap orang yang menyaksikan kondisi ini dari dekat, batinnya pasti terguncang sebab dari segi kesehatan sebenarnya air itu tidak layak untuk dikonsumsi oleh manusia karena cukup keruh dan kotor. Tetapi karena sumber air itu pilihan satu-satunya bagi masyarakat setempat,  maka terpaksa tetap dikonsumsi mereka.

Masalah kekeringan air ini jelas membawa dampak negatif bagi kehidupan masyarakat. Contohnya saja kebanyakan orang tidak bisa pergi ke kebun karena harus antri air. Sedangkan setiap Minggu pun kebanyakan umat tidak merayakan Ekaristi kudus karena harus mengantri air. Selain itu kesehatan masyarakat juga terganggu karena harus mengkomsumsi air yang tidak bersih. Hal-hal ini jelas akan mengakibatkan permasalahan yang lebih luas dan kompleks bagi kehidupan manusia. (Bernardus Bria, Pr)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.