Sukses

Selamatkan Asam Jawa di Kabupaten Kendal

Asam Jawa (Tamarindus Indica) adalah tanaman yang berasal dari Afrika. Pohon yang tingginya bisa mencapai 12-18 meter ini juga memiliki banyak manfaat serta khasiat bagi yang mengonsumsinya.

Citizen6, Kendal: Asam Jawa (Tamarindus Indica) adalah tanaman yang berasal dari Afrika, terutama dari Sudan yang tumbuh liar dan terdapat di Kamerun, Nigeria dan Tanzania. Di Arab, Asam ini berkembang liar di Oman, khususnya Dhofar, di mana dia tumbuh di kaki gunung yang menghadap ke laut.

Ketika penyebarannya mencapai Asia Selatan melalui jalur transportasi manusia dan dipanen selama ratusan tahun, Asam Jawa didistribusikan disepanjang sabuk tropis, dari Afrika sampai Asia Selatan, Australia Timur dan disepanjang Asia Tenggara, terutama Taiwan dan China.

Sampai sekarang, Asia Selatan dan Mexico adalah konsumen dan produsen pohon dan buah Asam paling besar sedunia.

Manfaat dan Khasiat

Pohon Asam berumur panjang dengan tumbuh melebar dan rindang. Ketika usianya masih muda, daun, tunas serta buahnya berwarna hijau. Namun ketika masak, akan berubah menjadi coklat tua dan dapat digunakan sebagai bumbu kuliner, pengobatan, dan semir metal diseluruh dunia.

Selain itu pohon yang bisa mencapai 12 sampai 18 meter (40-60 feet) tingginya ini sangat bagus berkembang di daerah yang penuh sinar matahari, tanah liat, berlempung, berpasir dan tanah yang mengandung kadar asam, serta pantai karena dia tahan garam. Sedangkan kayunya bisa digunakan untuk bahan bangunan.

Konon secara etymologi, penyebutan tamarind dalam Bahasa Inggris untuk Asam-Pen adalah berasal dari Bahasa Arab Tamr Hindi yang berarti "kurma dari India". Beberapa ahli herbal di masa awal peradaban menulis Tamar Indi, terjemahan Latin menggunakan Tamarindus, sedangkan Marcopolo menulisnya dengan Tamarindi.

Asal-muasal Pohon Asam di Kabupaten Kendal

Di Kabupaten Kendal sendiri Asam Jawa sekitar 80-an masih sangat banyak dijumpai di sepanjang Jalur Pantura, mulai dari Weleri hingga Kaliwungu. Namun Asam Jawa menjadi hampir punah karena adanya penebangan yang dilakukan pemerintah guna keperluan pelebaran jalan. Sisa-sisa Pohon Asam yang ada di 2013 ini masih terlihat di sekitar Kaliwungu, tepatnya di sebelah barat pertigaan Sekopek di deretan penjual onderdil motor bekas.

Kepunahan Asam Jawa juga diikuti dengan hampir ludesnya Pohon Cemara Angin yang dulu berdampingan menghiasi Jalan Sriagung dari Cepiring hingga Kecamatan Gemuh sekitar 1980-an. Jalan Sriagung menjadi favorit bagi warga untuk jalan jalan pagi menghirup segarnya udara karena pepohonannya rapat dan indah.

Terdiri dari barisan hijau mudanya pohon Asam Jawa didampingi warna hijau tua, ditambah segarnya semilir angin menciptakan lambaian surai daun cemara yang sungguh romantis. Jika mengingat jaman itu, sangat berbanding terbalik dengan nuansa sekarang. Pohonnya sudah campur aduk dan tidak tertata lagi.

Konon menurut mantan Lurah Cepiring, almarhum Mbah Sastro Atmojo, Cemara Angin dan Asam Jawa ini sudah ada sejak dirinya kecil. Ini berarti kedua pohon tersebut telah ada sejak zaman Belanda, mengingat saat almarhum bercerita usianya sudah sekitar 70 tahun di 1988-an.

Lurah yang menjabat sejak jaman Orde Lama hingga Orde Reformasi itu mengatakan Cemara dan Asam Jawa ditanam Belanda. Selain untuk memperindah estetika/keindahan konon juga untuk memperkuat aspal yang dibuat oleh Belanda terutama di Jalan Daendels, yang sekarang Jalan Pantura, dan jalan pendukung pergerakan pasukan dan logistik seperti Jalan Sriagung, Jalan Patebon dan sekitarnya. Namun khusus untuk Jalan Pegandon, Mbah Sastro mengatakan tanamannya adalah Pohon Trembesi.
 
Saat ini banyak terjadi modus penebangan secara perlahan terhadap asam Jawa, baik disengaja maupun tidak oleh orang tak bertanggung jawab. Caranya dengan membakar ranting kering ataupun jerami padi yang sudah tak terpakai di bawah Pohon Asam. Sehingga lama-kelamaan daun Asam akan jadi kering batangnya, berongga dan mati. Lalu batang pohon yang mati itu secara beramai-ramai dijadikan kayu bakar.  

Sebuah tindakan bodoh tanpa mengingat sejarah dan lamanya pohon itu tumbuh besar dan berkembang. Melihat hal ini dibutuhkan sebuah langkah penyelamatan tersendiri dari pemerintah untuk menyelamatkan kekayaan hayati tersebut.

Semoga ke depannya, anak cucu kita masih bisa menyaksikan keindahan pepohonan tua itu. Tidak hanya menyaksikan lewat flickr atau media internet dan buku sejarah. (Aryo Widiyanto/Mar)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini