Sukses

`Lobi Toilet` dan Seleksi Calon Hakim Agung

Mendapatkan jabatan sebagai hakim agung bukanlah dijadikan kesempatan untuk memperkaya diri sendiri.

Citizen6, Jakarta, Isu hangat yang sedang terjadi pada saat seleksi fit and proper test calon hakim agung yaitu adanya kemungkinan “lobi di toilet” antara calon hakim agung, Sudrajat Dimyati dengan salah satu anggota Komisi III DPR-RI, Bachruddin Nasori, walaupun sudah diklarifikasi oleh kedua orang yang diduga melakukan “lobi di toilet” dengan menyatakan bahwa hal tersebut tidak ada kaitannya dengan seleksi calon hakim agung, Sudrajat dan Bachrudin menyebut mereka hanya mengkomunikasikan mengenai jadwal calon hakim perempuan, tetap masih menjadi pertanyaan besar di publik, apakah pernyataan tersebut jujur atau tidak ?

Menurut Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR, Siswono Yudhohusodo, jika pertemuan di toilet antara anggota Komisi III DPR-RI, Bachrudin Nasori dengan seorang calon hakim agung yang sedang menjalani uji kelayakan, Sudrajat Dimyati benar, maka sanksi berat bisa dijatuhkan.
Berdasarkan pemberitaan di media massa, dugaan lobi di toilet DPR terkait fit and proper test hakim agung belum juga membuat BK DPR menjadwalkan pemanggilan Bachrudin Nasori. BK akan memproses hal ini setelah ada laporan dari masyarakat.

Sementara itu, Fraksi PKB sebagai fraksinya Bachrudin Nasori langsung membuat pernyataan bahwa “isu lobi di toilet” tersebut adalah salah satu bentuk fitnah. Sikap yang ditunjukkan oleh parpol yang dipimpin Menakertrans Muhaimin Iskandar ini adalah wajar, karena jika pemberitaan seperti ini menggelinding terus menerus dapat “merugikan” parpol tersebut.

Sedangkan, Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas angkat bicara mengenai insiden lobi toilet terkait pemilihan hakim agung. Menurut Busyro, pernah ada calon hakim agung yang memiliki nilai bagus, namun kandas karena persoalan uang di DPR. "Era KY jilid I dulu ada calon hakim lulus KY dengan nilai tinggi dan integritas bagus, kandas di DPR karena tak menuruti permintaan Rp 2 M," ujar Busyro kepada detikcom, Kamis (19/9/2013). Busyro merupakan mantan Ketua KY, lembaga yang menjadi pengawas pengadilan. KY juga memiliki kewenangan untuk ikut melakukan seleksi calon hakim agung, sebelum nama kandidat diserahkan ke DPR.

Jabatan Adalah Amanah

Menjadi hakim agung atau mendapatkan jabatan sebagai hakim agung bukanlah dijadikan kesempatan untuk memperkaya diri sendiri ataupun kelompoknya, karena menjadi hakim agung di Indonesia sangat berat dan menjalankan tugas yang sangat signifikan untuk menjaga keamanan nasional melalui penegakkan dan pengawasan terhadap jalannya hukum, karena bagaimanapun juga ketidakadilan dan hukum yang tidak netral juga dapat menjadi pemantik terjadinya gangguan terhadap keamanan nasional, sehingga memandang posisi sebagai hakim agung haruslah dilihat multi perspektif, agar para calon hakim agung ataupun anggota DPR-RI yang menyeleksinya tidak salah memilih orang yang nantinya akan menjadi garda penjaga wibawa dan kehormatan hukum nasional.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman


Aparat penegak  hukum ataupun mereka yang berkecimpung dalam pembuatan hukum seperti anggota DPR sebenarnya memiliki tugas yang mulia untuk menjaga negara ini agar “tidak kebobolan” dari intervensi ataupun pengaruh asing. Menurut tokoh senior dan panutan kalangan intelijen, Washington Platt ataupun Robert Jervis menyatakan setidaknya ada beberapa pintu masuknya intervensi asing ke sebuah negara, salah satu pintu tersebut adalah “law atau hukum”.

Menjadi hakim agung di Indonesia juga menjadi tumpuan harapan kepada masyarakat agar mereka dapat bertindak tegas dan menjadi semacam “Judge Bao” dalam sejarah penegakkan hukum di tanah Mandarin yang mampu membela penegakkan hukum yang adil dan tidak memihak kepada siapapun, karena wajah buram hukum di Indonesia selain ditandai dengan adanya ketidakpastian hukum, juga banyaknya hakim-hakim nakal yang ditangkap KPK ataupun mereka yang belum ditangkap termasuk hukum yang mendapatkan sinisme di masyarakat bahwa hukum hanya tajam ke bawah, namun tumpul ke atas.

Sinisme masyarakat ini ada klausul atau kebenaran ilmiahnya, karena berdasarkan hasil temuan pakar hukum terkenal Tellyrand yang pernah menyatakan, hukum itu bagaikan bayonet yang dapat digunakan untuk kepentingan apapun, kecuali menduduki bayonet itu diatasnya.

Berdasarkan analisa wacana terhadap teks media terkait masalah “lobi di toilet dan seleksi calon hakim agung” maka banyak kalangan masyarakat yang memahami fenomena ini secara hegemoni artinya berita yang ditampilkan media massa dapat diterima kebenarannya oleh masyarakat atau dengan kata lain ada kesamaan opini antara media dengan masyarakat menyikapi sebuah kasus.

Menurut Stuart Hall, ada tiga cara orang dalam memahami atau menerjemahkan teks pemberitaan sebuah media yaitu pertama, secara hegemoni dimana berita yang disebarkan media massa diterima begitu saja oleh masyarakat, karena sudah sesuai dengan ideologi mayoritas masyarakat dan ideologi wartawan pembuat berita tersebut. Kedua, secara negosiasi artinya berita yang dibuat wartawan atau media dapat “dinegosiasikan” dengan opini, persepsi dan ideologi yang ada di masyarakat, sehingga berita tersebut dapat diterima atau tidak oleh masyarakat atau dengan kata lain dapat “dinegosiasikan”. Ketiga, secara kritis atau oposisi, yaitu berita yang disodorkan kalangan media massa ditolak ataupun mendapatkan sikap oposisi dari masyarakat.

Dalam kasus “lobi toilet” tampaknya, masyarakat sepakat dengan pemberitaan media massa bahwa fenomena tersebut adalah fenomena yang memalukan dan harus diusut tuntas oleh KPK ataupun BK DPR-RI, karena mereka yang mengikuti fit and proper test adalah 12 calon hakim agung yang sudah diseleksi secara ketat sebelumnya dari 23 calon hakim agung. Jika benar “lobi toilet” itu benar, maka jabatan dipandang oleh sebagian kecil (atau mungkin sebagian besar) masyarakat Indonesia bukan lagi sebagai amanah, melainkan kesempatan untuk kaya, korupsi dan kawin lagi. (Otjih Sewandarijatun/kw)

*Otjih Sewandarijatun adalah alumnus Udayana, Bali. Pengamat masalah strategis Indonesia dan peneliti di Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi. Tinggal di Cilangkap, Jakarta Timur.

Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini