Sukses

Siapa Yang Untung di Balik Unjuk Rasa Buruh?

Jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia, upah buruh di Indonesia dapat digolongkan cukup moderat.

Citizen6, Jakarta: Setelah sukses memperjuangkan kenaikan upah hingga 30% pada tahun 2012 lalu, kini buruh mulai meningkatkan tekanannya pada pengusaha dan pemerintah untuk menaikan Upah Minimum Propinsi (UMP) hingga 50% atau Rp. 3,7 Juta pada tahun 2014.  Tuntutan buruh yang dimotori oleh sejumlah serikat kerja buruh seperti KSPI, FSPMI, KASBI, berangkat dengan asumsi terjadinya penurunan daya beli buruh akibat kenaikan harga bahan bakar minyak, inflasi kebutuhan pokok serta pertumbuhan ekonomi.  Hal itulah yang mendasari tuntutan buruh untuk menaikan UMP guna meningkatkan akses mereka terhadap pemenuhan kesejahteraan yang lebih layak di tengah melambungnya harga bahan pokok.

Selama ini, sebagian kalangan dari serikat buruh berpandangan bahwa kesejahteraan buruh kerap menjadi korban dengan dalih menjaga investasi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.  Upah tenaga kerja yang murah dianggap sebagai keunggulan kompetitif yang menarik bagi investasi, dan karena itu model pengupahan minimum dipraktekan guna menekan upah tenaga kerja untuk mencapai efesiensi dalam komponen biaya produksi.  Pandangan tersebut ada benarnya jika dikaitkan dengan pengalaman sebelumnya ketika upah buruh berada di bawah standar untuk memenuhi kesejahteraan yang layak.  Namun, harus diakui pula bahwa upaya untuk terus meningkatkan kesejahteraan buruh mulai menunjukan kemajuan yang signifikan, terutama dilihat dari kenaikan UMP rata-rata yang kini mencapai 18, 32% pada tahun 2013, angka yang terus meningkat jika dibandingkan pada tahun 2012 yang hanya berkisar pada 10,27%.

Jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia, upah buruh di Indonesia dapat digolongkan cukup moderat.  Meski bukan yang tertinggi, namun berada di atas Vietnam dan Kamboja, serta tidak terlalu terpaut jauh dengan China yang kini industrinya sedang bergeliat dan bangkit menjadi raksasa ekonomi dunia.  Industrialisasi yang berlangsung di Asia tentu menjadi peluang sekaligus ancaman jika buruh di Indonesia tidak cermat dalam mengartikulasikan kepentingannnya dalam pasar tenaga kerja regional yang semakin kompetitif.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman



Kemungkinan Skenario Di Balik Tuntutan Buruh

Jika kita cermati tren kenaikan UMP (Upah Minimum Propinsi) rata-rata pertahun, menunjukan adanya komitmen yang kuat dari pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan buruh dan akomodasi terhadap kepentingan buruh.  Tuntutan kenaikan UMP karenanya merupakan hal yang wajar sepanjang rasional dan membuka ruang kompromi yang merepresentasikan baik kepentingan buruh maupun pengusaha.  Mekanisme tripartit yang melibatkan peran pemerintah sebagai mediator antara buruh dan pengusaha tentunya dapat menjadi sarana untuk menyelesaikan isu-isu perburuhan, termasuk pengupahan.  

Dalam alam demokrasi, unjuk rasa buruh sah-sah saja dilakukan sebagai bentuk kebebasan ekspresi dan alat perjuangan politik buruh.  Namun, maraknya aksi unjuk rasa buruh yang disertai dengan tuntutan yang seolah tidak dapat dinegosiasikan seperti aksi buruh  menuntut kenaikan UMP 2014 hingga 50% tentu menjadi hal yang patut dikritisi. Apakah aksi ini murni muncul karena faktor-faktor domestik buruh yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan atau justru karena faktor eksternal yang mendomplengi kepentingan kaum buruh?.  Pertanyaan ini menjadi beralasan ketika pengalaman sebelumnya menunjukan bahwa isu UMP dalam unjuk rasa buruh seringkali diwarnai isu dan kepentingan lain seperti kontestasi politik lokal maupun nasional, persaingan industri, dan lain-lain.  

Informasi terakhir dalam kegiatan jumpa pers di salah satu hotel di Menteng, Jakarta Pusat pada 18 September 2013, KSPI telah menyiapkan langkah-langkah yakni menyiapkan aksi berikutnya lebih dari 40 kabupaten/kota di Indonesia, diantaranya Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Bintan, Depok, Subang, Karawang, Purwakarta, Bandung,Cimahi, Sukabumi, Serang,Cilegon, Cirebon, Cilacap,Pekalongan, Semarang, Kendal, Demak, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto ,Pasuruan, Batam,Riau, Palembang, Medan, Deliserdang, Banda Aceh, Lhoksumawe, Kuala Simpang, Lampung, Makassar, Gorontalo, Kaltim, Kalsel dan beberapa daerahanya. KSPI bersama dengan serikat buruh nasional lainnya aliansi buruh dari berbagai daerah lainnya akan mengadakan rapat akbar tingkat nasional yang akan dihadiri 1000 aktivis buruh pada 28-29 September 2013 untuk mempersiapkan mogok nasional diakhir Oktober dengan jumlah massa yang lebih besar sebanyak 5 juta orang.

Eskalasi unjuk rasa buruh sangat dimungkinkan digerakan oleh berbagai skenario kepentingan, diantaranya :  Pertama, kepentingan domestik buruh untuk meningkatkan akses kesejahteraan.  Kepentingan ini muncul karena gap yang lebar antara beban hidup yang ditanggung buruh dengan kebutuhan konsumsi.  Terjadinya peningkatan biaya kebutuhan primer seperti sandang, pangan dan papan menyebabkan buruh perlu meningkatkan pendapat dari upah sebagai komponen utama guna membiayai kebutuhannya.  Dalam konteks ini, buruh akan cenderung kooperatif untuk kompromi mencari jalan keluar terbaik, karena muncul pula kesadaran bahwa peningkatan biaya tadi juga dialami oleh para pengusaha.

Kedua, kepentingan politik eksternal, baik dalam konteks lokal maupun nasional.  Sejarah menunjukan bahwa buruh merupakan salah satu kekuatan politik penting.  Pada era Orde Lama, sektor buruh menjadi perhatian partai-partai dalam kerangka ideologisasi maupun sumber dukungan dan rekrutmen politik.  Tidak menutup kemungkinan bahwa relasi yang sama antara buruh dengan politik kembali terulang, meski dalam kemasan yang berbeda. Begitupula dengan sinyalemen tidak semua serikat buruh betul-betul independen dari relasi afiliasi politik tertentu.  Terbuka kemungkinan bahwa buruh menjadi partisan dari kekuatan politik tertentu, bahkan disusupi oleh paham-paham politik radikal yang tujuannya menjadikan buruh sebagai basis massa untuk mencapai tujuan politiknya.   

Fenomena kisruh masalah upah menjelang pilkada yang disertai unjuk rasa membuktikan adanya politisasi upah.  Para kontestan politik dalam pilkada melihat bahwa buruh merupakan pemilih potensial yang perlu digarap.  Begitupula dengan konteks nasional dimana persaingan menjelang pemilu 2014 akan berimbas pada isu-isu perburuhan yang muaranya adalah meraih dukungan buruh.  Persoalan buruh yang seharusnya diletakan dalam konteks hubungan industrial antara buruh dan pengusaha sebagai mitra yang saling menguntungkan justru dieksploitasi sebagai komoditas politik.  

Ketiga, persaingan industri.  Laju industrialisasi di Indonesia yang semakin pesat menjadi daya tarik bagi investasi sekaligus menghadirkan berbagai kompleksitasnya, termasuk potensi persaingan industri baik dalam lingkup domestik maupun global.  Terbuka kemungkinan bahwa persaingan dunia industri ikut mengeskalasi gerakan buruh, semisal kemungkinan dibiayai dan digerakannya serikat buruh tertentu untuk menuntut kenaikan upah yang tinggi sehingga berpotensi mematikan daya saing, atau bahkan menyebabkan kebangkrutan sektor usaha tertentu.

Keempat, relokasi industri dan tenaga kerja.  Unjuk rasa buruh dapat digerakan oleh skenario untuk menciptakan kondisi-kondisi yang dapat menjadi dalih bagi dunia industri, terutama modal asing untuk melakukan relokasi industri maupun tenaga kerjanya.  Kondisi perburuhan yang tidak kondusif secara sengaja diciptakan untuk menekan pemerintah sekaligus tenaga kerja sehingga mereka dapat mengambil keuntungan lebih dari situasi tersebut, termasuk ancaman relokasi industri atau mendatangkan tenaga kerja asing yang dimungkinkan terjadi sebagai konsekuensi dari pemberlakuan CAFTA dan ASEAN Community tahun 2015 nanti.  Jika hal ini terjadi maka tidak hanya kepentingan buruh saja yang terancam, tetapi juga kepentingan nasional.

3 dari 3 halaman


Perlu Win-Win Solution

Persoalan perburuhan, terutama pengupahan harus kembali diletakan dalam perspektif hubungan industrial antara buruh dan pengusaha yang bermitra dan saling menguntungkan.  Isu upah tidak bisa hanya dilihat dalam satu sisi saja.  Buruh memerlukan pengusaha sebagai penyedia lapangan kerja, sedang pengusaha membutuhkan pekerja untuk menggerakan mesin-mesin produksinya.  Buruh perlu menyadari bahwa tuntutan kenaikan upah akan berdampak terhadap peningkatan beban produksi bagi dunia industri jika mereka tidak meningkatkan skill dan kapasitas produktifnya.  Hal ini mempengaruhi kemampuan kompetitif baik produk industri domestik maupun buruh dalam pasar industri dan tenaga kerja.  Karenanya, tuntutan buruh harus rasional dan membuka diri untuk kompromi mengingat situasi resesi ekonomi global yang berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang kini menurun hingga di bawah target 6%.

Baik buruh maupun pengusaha, keduanya memerlukan iklim usaha yang kondusif agar roda produksi tetap berjalan dan berkembang pesat.  Karena itu, unjuk rasa buruh yang tidak terkendali dan tuntutan yang berlebihan justru akan mengganggu upaya menciptakan iklim usaha yang kondusif, bahkan menjadi ancaman bagi stabilitas sosial dan keamanan sebagai merupakan prasyarat yang harus dipenuhi dalam pembangunan nasional (Lucian Pye, 1958).  Tanpa stabilitas maka pembangunan nasional tidak akan dapat berjalan dengan baik dan unjuk rasa buruh kemudian justru dapat dianggap sebagai common enemy bagi masyarakat.

Sementara itu, persoalan pengusaha juga perlu menjadi perhatian, terutama pemerintah.  Selain pengusaha harus menanggung beban kenaikan upah buruh, persoalan munculnya apa yang disebut sebagai praktek informal economy dan shadow state (Barbara Harris, 2003 dan William Reno,1995) yang selama ini menjadi beban pengusaha.  Praktek informal economy dan shadow state merujuk pada munculnya kekuatan informal (biasanya melibatkan afiliasi antara aparatus negara dan kelompok masyarakat) yang beroperasi seolah merepresentasikan kekuatan formal negara dan membebani dunia industri dengan berbagai pungutan dan kontribusi tidak resmi sebagai konsekuensi dari jaminan keamanan dan kelancaran roda produksi dan distribusi.  Implikasi dari praktek ini adalah high cost economy (ekonomi biaya tinggi) yang harus ditanggung sebagai komponen biaya produksi oleh pengusaha. Menurut catatan APINDO, komponen tersebut biasanya dimasukan dalam biaya tak terduga yang besarannya dapat mencapai kisaran 33%.

Negara harus tegas dan tidak boleh mentolerir munculnya praktek informal economy dan shadow state yang membebani dunia industri, sama halnya dengan sikap negara terhadap unjuk rasa buruh yang berpotensi membahayakan kepentingan nasional.  Karena itu, persoalan buruh harus dilihat secara komprehensif dan memerlukan peran aktif pemerintah dalam menjalankan fungsi mediasi kepentingan antar buruh dan pengusaha.  Keduanya merupakan aset penting bagi negara dalam menjalankan roda pembangunan nasional.  Kesejahteraan buruh penting karena dapat menjadi agregat ekonomi dengan daya belinya yang tinggi.  Namun, kepentingan pengusaha juga harus diperhatikan karena tanpanya dunia industri tidak akan berjalan dan dapat merugikan semua.  Baik buruh maupun pengusaha harus kritis dan membuka saluran komunikasi yang intens sehingga tidak terjebak dengan skenario yang dapat merugikan kepentingan nasional. (Toni Sudibyo/kw)

* Toni Sudibyoadalah pengamat masalah perburuhan dan peneliti di Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi. Tinggal di Bandar Lampung

Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.