Sukses

Bangsa Ini Butuh Lusinan "Jokowi"

Beragam gebrakan Jokowi menjadi oase di tengah padang pasir kekotoran politik di Indonesia dan menimbulkan harapan baru figur pemimpin ideal

Citizen6, Singkawang: Siapa yang tidak kenal sosok Jokowi, boleh dibilang beliau merupakan salah seorang pemimpin yang fenomenal saat ini. Beragam gebrakan sosok yang sekarang menjabat sebagai Gubernur DKI-Jaya untuk masa 5 tahun mendatang (2012-2017) itu seakan menjadi oase di tengah padang pasir kekotoran politik di Indonesia, penyejuk bagi seantero masyarakat umum yang menggairahkan, dan menimbulkan harapan baru akan figur pemimpin ideal untuk bangsa yang terbelit beragam permasalahan ini.

Tak dapat dipungkiri gaya kepemimpinan Jokowi menjadi trend mode tersendiri. Tidak sedikit pula yang mulai "meniru-niru" untuk sekedar mendapatkan simpati masyarakat dalam suksesi kepemimpinan. Mulai dari level  RT, lurah, camat, bupati/walikota, gubernur, hingga puncaknya nanti Pileg dan Pilpres 2014.

Itulah Jokowi yang fenomenal, sosok yang selalu mengundang perhatian publik itu mulai mengeluarkan jurus-jurus jitunya membenahi Ibu Kota negara. Antara lain kesemerawutan, ekonomi, korupsi, kemiskinan, pengelolaan BBM, pendidikan, kesehatan, sempitnya lapangan kerja hingga mahalnya harga pangan.

Sosok yang dikenal bersahaja itu tidak sekedar "mencari tahu" akar masalah dengan gaya blusukan. Lebih dari itu beliau juga segera mencari cara pemecahannya dan melakukan "eksekusi" penyelesaian masalah secara efektif, efisien, dan bertanggung jawab. Walau terkadang tidak sedikit pula ada pihak-pihak yang "mencibir", namun sebagaimana pepatah,"biar anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu".

Berkaca pada sosok Jokowi dan Jakarta, menurut hemat penulis, bangsa yang sedang terbelit beragam masalah ini memerlukan "lusinan Jokowi". Sedangkan masalah yang sedang dihadapi "Jakarta" sekarang merupakan cermin dari masalah yang sedang dihadapi bangsa ini secara menyeluruh. Atau dengan kata lain Jakarta menjadi barometer keberhasilan daerah-daerah lain dalam mengatasi beragam permasalahan yang tidak jauh berbeda, yakni ekonomi, korupsi, kemiskinan, pengelolaan BBM, sistem pendidikan, sempitnya lapangan kerja, mahalnya harga pangan,  bencana alam, kelaparan dan krisis pangan, serta bahkan disebut pula krisis kepemimpinan.

Terhitung tinggal beberapa bulan saja lagi, dengan anggaran negara sekitar Rp 17 triliun yang nantinya akan diserap oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), rakyat Indonesia akan kembali memilih Presiden, DPR, DPD, dan DPRD. Di seluruh penjuru negeri, selusin panji-panji partai peserta PEMILU 2014 telah berkibar.

Putra-putri "terbaik" bangsa yang terdaftar sebagai Caleg mulai gerilya mencari dukungan suara pemilih dengan beragam "umpan" yang salah satunya mirip-mirip Jokowi. Tak cuma sampai disitu, partai-partai "besar" juga mulai gencar menjaring Capres dan Wapres mereka agar "laku di jual" dihadapan rakyat bangsa ini maupun dunia. Sedangkan partai-partai gurem sepertinya "tahu diri" dengan bersiap-siap dengan strategi koalisi untuk "jagoan" Capres dan Wapres mereka jika suara partainya tidak mencukupi 25% di parlemen.

Mungkin itulah sekelumit peristiwa besar yang bakal dijelang bangsa ini beberapa bulan ke depan. Namun demikian, jika kita menyimak perjalanan bangsa ini khususnya sejak benteng Orde Baru runtuh dan berganti dengan berdirinya pilar Reformasi pada 1998. Perjuangan serta harapan yang digaungkan agar keadaan negara ini menjadi lebih baik dari sebelum Orde Baru ternyata kian menyisakan beragam kisah hambar.

Amanat reformasi yang bergulir hingga detik ini disadari atau tidak, malah membawa bangsa ke gerbang jurang ancaman kemunduran. Atau bahkan mungkin tidak sedikit pula yang berpandangan negara yang berpenghuni hampir 400 jiwa ini diambang kehancuran. Kecuali itu tadi, munculnya sosok Jokowi yang fenomenal.

Lihat saja beragam kasus-kasus korupsi kakap dari "Century" hingga "daging sapi", atau dari "Hambalang" hingga potret buram beranda negeri semisal "Gun Tembawang", sebuah Desa di Entikong, Kalimantan Barat.  Daerah yang berbatasan langsung dengan Serawak di Malaysia Timur itu sejak 68 tahun bangsa ini merdeka tetap saja kumuh. Silih berganti Presiden dan DPR, yang kemudian melahirkan era otonomi daerah yang digadang-gadang dapat menjadi solusi memacu daerah-daerah untuk lebih berkembang, nyatanya malah hanya menjadi "lahan baru" para penguasa-penguasa di daerah untuk memperkaya diri dan kroni-kroninya. Terbukti dengan maraknya pejabat atau kepala daerah yang tersandung kasus-kasus korupsi.

Kondisi carut-marut bangsa ini semakin meyakinkan penulis akan ramalan Louis Kraar, seorang pengamat negara industri baru di Asia Timur yang mengatakan dalam beberapa tahun mendatang, Indonesia akan menjadi halaman belakang dari Asia Timur, ditinggal negara tetangganya yang berkembang pesat. Ini, antara lain, disebabkan maraknya korupsi.

Dari sekelumit gambaran di atas, maka dapat disimpulkan beberapa point sederhana sebagai pijakan kita dalam menjaring pemimpin "ideal" di 2014 kelak dan mungkin harapan sebagian besar rakyat bangsa ini, yakni :

1.  Gunakan hak pilih dengan seksama

Setiap warga negara yang mempunyai hak pilih di 2014 kelak hendaknya benar-benar mempertimbangkan pilihannya dengan nalar serta rasionalitas yang tinggi. Pilih "manusia-manusia" yang memang ingin bekerja penuh demi membaktikan diri untuk Negara dan Bangsa dengan tidak mengabaikan intelektualitasnya termasuk profesionalitas yang dimiliki orang tersebut.

2.  Menjaring pemimpin ideal; jangan lupakan sejarah

Menjaring pemimpin ideal untuk 2014 mendatang (dengan plus-minusnya), hendaknya kita tidak melupakan sejarah kepemimpinan "fenomenal" yang lalu. Dari Soekarno hingga SBY (atau bahkan sosok Jokowi sekalipun), dengan merefleksi kembali keteladanan serta etika kepemimpinan yang lalu semoga bisa menuntun kita memilih pemimpin yang tepat, yakni pemimpin yang mampu menggerakkan elit bangsa serta agenda rakyat yang dijanjikannya waktu kampanye.

3.  Indonesia membutuhkan lusinan pemimpin seperti "Jokowi"

"Jokowi effect" seakan menjadi oase di tengah padang pasir "kekotoran" politik di Indonesia serta penyejuk bagi seantero masyarakat bangsa ini. Tentu saja kita mengharapkan akan lahir figur-figur "Jokowi" lainnya di 2014 mendatang yang tidak hanya tersebar di Eksekutif dan Legislatif, namun juga mewabah ke Yudikatif. Semoga! (Topan Wahyudi Asri/Mar)

Topan Wahyudi Asri  adalah alumni Fakultas Hukum UNTAN Pontianak, Kalimantan Barat, dan aktif di divisi investigasi Laskar Anti Korupsi Indonesia (LAKI) Kota Singkawang. Ia juga seorang pewarta warga.

Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini