Sukses

Hikmah di Balik Kasus Akil Mochtar

Jika diberikan kewenangan menghakimi langsung pejabat negara, rakyat Indonesia akan serempak meneriakkan hukuman mati bagi koruptor.

Citizen6, Jakarta - Jika diberikan kewenangan untuk menghakimi langsung pejabat negara, mungkin rakyat Indonesia akan serempak meneriakkan hukuman mati bagi para petinggi yang terlibat korupsi saat ini. Amarah masyarakat Indonesia seakan meletup setelah terungkapnya kasus korupsi yang melibatkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar (AM) pekan lalu. Kasus ini masih didalami oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sementara AM telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus sengketa hasil pemilukada Kabupaten Gunung Mas (Kalimantan Tengah) dan Kabupaten Lebak (Banten).

Sebelum kasus ini mencuat, MK yang lahir dari semangat reformasi dikenal sebagai lembaga peradilan yang bersih karena setiap putusan diambil oleh sembilan hakim konstitusi dengan menjunjung asas nir-intervensi. Kini wibawa MK sebagai pilar penegak konstitusi runtuh seketika karena kasus yang menjerat ketuanya. Rakyat pun bertanya, masih adakah tempat mencari keadilan di negara ini.

Pasca penangkapan AM, artikel atau ulasan media massa nasional dibanjiri dengan ekspresi geram politisi dan tokoh masyarakat. Wajar saja, siapapun yang peduli terhadap nasib bangsa ini pasti terguncang oleh peristiwa tersebut. Kendati demikian, masih ada makna positif yang bisa dipetik dari kejadian ini.

*Penegakkan Hukum*

Penegakan hukum di tengah-tengah masyarakat sejatinya ditujukan untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum serta membawa manfaat bagi pemberdayaan sosial masyarakat. Meskipun demikian, stigma penegakan hukum di Indonesia saat ini belum bisa dikatakan baik. Penanganan kasus korupsi pun masih terkendala banyak hal, terutama karena para koruptor memiliki uang dan pengaruh sebagai kekuatan (power) untuk menginterfensi proses penegakan hukum itu sendiri. Realita penegakan hukum yang demikian tentu melukai hati rakyat kecil sehingga menghapus keyakinan masyarakat terhadap para penegak hukum, tak terkecuali kepada KPK.

Sejak dibentuk pada tahun 2003 melalui UU Nomor 30 Tahun 2002, KPK tidak selalu menerima pujian dan sanjungan. Berbagai cibiran pernah dilayangkan masyarakat terhadap KPK. Komisi ini kerap dituduh mandul dan tidak punya nyali untuk mengungkap kasus korupsi di level atas. Sebagai contoh, saat kasus korupsi di lingkungan Dirjen Pajak bergulir, KPK dinilai tajam hanya di level bawah seperti Gayus Tambunan, namun tumpul dalam menjerat para petinggi di lembaga tersebut.

Penangkapan Ketua MK yang dilakukan KPK seakan menjadi pembuktian bahwa pemberantasan korupsi tidak hanya dilakukan terhadap satu dua lembaga saja, melainkan seluruh lembaga mulai dari tingkat daerah sampai pusat. Kasus ini juga menyempurnakan perkara korupsi yang terkait partai politik, bukan hanya satu dua partai politik saja, tapi sudah semuanya terlibat. Operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK terhadap Ketua MK seakan menjadi pembuktian bahwa komitmen KPK untuk memberantas korupsi tidak menyasar satu dua lembaga saja. Sinyal yang diberikan oleh KPK lewat penangkapan ini sangatlah jelas. Siapapun pejabat negara yang hendak menyelewengkan jabatan dan kewenangannya harus berpikir ulang sebelum bertindak. Bagaimana tidak, orang nomor satu di lembaga sekelas Mahkamah Konstitusi sekalipun tidak kebal dari jeratan hukum.

Dalam studi hukum, dikenal asas *Fiat justitia ruat coelum* atau *fiat justicia pereat mundus* yang artinya keadilan harus ditegakkan walaupun esok langit akan runtuh atau dunia akan musnah. Memberantas korupsi tidak semudah membalik telapak tangan, apalagi jika berkaitan dengan petinggi negara yang memiliki kekuatan dan kewenangan besar. Namun, langkah tegas dan berani yang diambil oleh KPK dalam menguak korupsi MK menyiratkan kepada kita bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia sedang bergerak maju. Semoga KPK dapat mempertahankan idealisme dan komitmennya untuk memberantas korupsi di Indonesia tanpa pandang bulu.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman



*Pendewasaan Politik*

Perang melawan korupsi bukanlah kewajiban lembaga tertentu. Keinginan untuk membangun Indonesia yang bebas korupsi harus lahir dari kita sendiri, seluruh rakyat Indonesia. Sadar atau tidak, rakyat kita turut memiliki andil dalam menumbuh kembangkan politik uang (*money politic*) dan merangsang korupsi di tanah air.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Pemilu, dari tingkat kepala desa hingga Presiden membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dalam praktiknya, “serangan fajar” masih menjadi taktik andalan para kandidat untuk memastikan kemenangannya dengan memberikan tambahan uang kepada masyarakat. Kasus yang menimpa Akil Mochtar menjadi contoh lain penggunaan uang untuk menjamin kekuasaan. Tradisi semacam ini menjelaskan kenapa para kandidat melakukan korupsi ketika sudah menjadi pejabat publik. Tujuan mulia politik untuk kesejahteraan rakyat telah digadaikan untuk memenuhi nafsu elit politik. Tindakan seperti ini jelas menciderai demokrasi.

Kasus korupsi yang menyedot perhatian publik belakangan ini sudah seharusnya dijadikan sebagai bahan pembelajaran politik bagi masyarakat Indonesia. Menjelang tahun politik 2014, masyarakat seakan diberikan peringatan agar mengabaikan iming-iming uang, kemudian menggunakan akal sehat pada saat memilih. Rakyat seharusnya menjadi lebih dewasa dalam menyalurkan hak politiknya setelah melihat kasus korupsi yang turut melibatkan petingi negara tersebut.

Menerima politik uang sama artinya dengan menjual nasib serta hak konstitusional kita untuk memperoleh keadilan dan kesejahteraan. Suara rakyat adalah suara Tuhan (vox pupuli, vox dei) yang tidak bisa dibeli dengan apa pun dan dengan harga berapa pun oleh para koruptor. Biarlah nurani yang berbicara ketika menentukan anggota legislatif serta pimpinan daerah maupun negara.

Fenomena korupsi di Indonesia bagaikan kegelapan yang menyelimuti seisi rumah. Kegelapan tersebut tidak akan sirna jika kita sebagai penghuni rumah hanya duduk dan mengutuk kegelapan tersebut, tanpa usaha untuk menyalakan lilin atau pelita. Mengambil sikap untuk menghapus budaya korupsi pun pasti akan lebih bermanfaat daripada sekedar mengutuk pelaku korupsi. (Rio Wattimena/kw)

Rio Wattimena, Kandidat Doktoral UGM Tinggal di Ambon adalah pewarta warga

Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.