Sukses

Belum Tuntasnya Kerukunan Beragama

Forum Masyarakat Minangkabau Tolak Siloam menilai pembangunan Lippo Plaza upaya pihak asing menguasi sumber daya yang ada di Sumatera Barat

Citizen6, Jakarta: Belum lama ini, di Gedung DPRD Kota Padang, Sumatera Barat, sekitar 2.000 orang dari Forum Masyarakat Minangkabau Tolak  Siloam (FMMTS), MUI, MMI, FPI, dan HTI, melakukan unjuk rasa menolak pembangunan Lippo Plaza. Dalam orasinya, Faisal yang juga aktivis salah satu ormas di Sumatera Barat (Sumbar) dan Guzrizal Gazahar yang juga Ketua MUI Sumbar Bidang Fatwa menuntut Pemprov Sumbar mencabut izin pembangunan Lippo Plaza dan rekomendasi DPRD Kota Padang terhadap pembangunan tersebut.

Menurut mereka, pembangunan Lippo Plaza dinilai sebagai upaya pemurtadan dan sarana pihak asing untuk menguasi seluruh sumber daya yang ada di Sumatera Barat. Apabila pemerintah kota (Pemkot) dan DPRD Padang tidak mencabut rekomendasi pembangunan Lippo Plaza, maka MUI akanmenyerukan kepada seluruh umat muslim Sumatera Barat melakukan aksi unjuk rasa yang lebih besar, melalui aksi jihad menolak pembangunan Lippo Plaza.

Siloam adalah trade mark kemajuan kegiatan sosial dari sebuah kelompok gereja, yang iasanya bergerak di bidang rumah sakit. Masyarakat Minang memang dikenal sebagai masyarakat yang kuat agamanya (Islam), sehingga ekspansi kegiatan sosial kelompok gereja yang menggunakan trade marknya Siloam,  akan cepat dirasakan sebagai sebuah ekspansi yang tidak sekedar kegiatan bisnis atau sosial, tetapi akan dirasakan sebagai penetrasi terhadap keluarga Minangkabau yang Islami melalui sisi sosialnya.

Meskipun sebagai bangsa yang berazas pluralis, kita harus bersikap terbuka dan obyektif terhadap aliran apapun. Namun kenyataan ini merupakan faktor dominan yang belum bisa dihapus begitu saja. Meskipun DPR dan pemerintah daerah telah  memberikan rekomendasi menyetujui, namun proses yang tidak terbuka menyebabkan oleh masyarakat dirasakan sebagai kejutan, perlu juga diteliti kembali. Menurut penulis, kemungkinan terdapat indikasi masalah ini prosesnya kurang transparan, dan mengabaikan faktor-faktor sosial  yang keras yang riil ada, sehingga sebelum berkembang menjadi ketegangan yang bisa berlarut-larut sebaiknya permasalahannya di dalami kembali.

Sementaraitu, pada 1 Desember 2013 di Sumatera Utara, terjadi konflik antara umat dengan warga yang dibantu massa ormas tertentu dari Kota Binjai terkait rencana umat melakukan kebaktian di sebuah gereja baru yang belum memiliki izin. Dalam kaitan ini, salah seorang tokoh FKUB Kota Binjai, menghimbau agar rencana kebaktian di areal gereja tersebut tidak dilakukan, karena belum mendapat izin dari Muspida Kota Binjai.

Sebelumnya di Kota Medan, sekitar 120 jemaat Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) melakukan aksi unjuk rasa, menolak rencana kedatanganTim Eksekusi PN Medan yang akanmengeksekusi lahan masjid dan GBKP. Sedangkan di Kalimantan Timur, salah satu ketua ormas Samarinda, berencana mengirimkan surat kepada Pemkot Samarinda, agar menghentikan pembangunan gedung serbaguna Gereja Kemah Injil Indonesia,  karena mereka dinilai akan digunakan sebagai Kristen Center untuk menjalankankegiatannya.

Menurut pandanganpenulis, masalah seperti ini adalah masalah yang sangat sulit, banyak terjadi namun hampir seluruhnya macet pemecahannya. Kasus yang boleh dikata monumental adalah kasus Gereja GKI Taman Yasmin Bogor yang berlarut-larut hingga sekarang. Masalah ini sudah sampai pada tingkat Kepala Negara, tetapi tidak ada tanda-tanda akan ada pemecahannya.

Namun demikian meskipun temanya sama yaitu persoalan pembangunan rumah ibadah bagi golongan minoritas, tetapi masing-masing sebenarnya kemungkinan mengandung sisi-sisi yang melalui perembugan, diskusi, dan musyawarah bisa dicari solusinya. Kenyataan bisa terjadi sebuah rumah ibadah berhimpitan dindingnya dengan sebuah rumah ibadah lainnya di daerah Jakarta yang penduduknya padat dan heterogen, merupakan indikasi bahwa berbagai konflik rumah ibadah yang ada sekarang tetap mungkin diselesaikan.

Nila iinilah yang barang kali perlu dicoba dikembangkan untuk memecahkan konflik pembangunan rumah ibadah bagi golongan minoritas diseluruh Indonesia dewasa ini. Kepemimpinan bangsa ini memang sedang diuji, senjata kita yang tersedia hanyalah falsafahPancasila, maka marilah kita semua mencoba mengeksploitasi falsafah bangsa ini untuk memecahkan persoalan kita. Memang kita harus berangkat dari titik yang sama, yaitu kita ingin damai, rukun, dan dapat beribadah. (mar)

Penulis
Satya Dewangga, adalah peneliti pada Forum Dialog Kebangsaan
Jakarta, satyadewanggxxxx@gmail.com

Disclaimer

Citizen6 adalah media publik untuk warga. Artikel di Citizen6 merupakan opini pribadi dan tidak boleh menyinggung SARA. Isi artikel menjadi tanggung jawab si penulisnya.

Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.

Mulai 3 Desember sampai 13 desember 2013 Citizen6 mengadakan program menulis bertopik dengan "Terima Kasihku untuk 2013". Ada kado akhir tahun dari Liputan6.com dan Dyslexis Cloth bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini