Sukses

Wali Nanggroe dan Identitas Kebangsaan

Rencana pengukuhan Malik Mahmud Al Haytar sebagai Wali Nanggroe (WN) akan dilaksanakan, hari ini, Senin (16/12/2013).

Citizen6, Jakarta: Rencana pengukuhan Malik Mahmud Al Haytar sebagai Wali Nanggroe(WN) akan dilaksanakan, hari ini, Senin (16/12/2013) telah diputuskan dalam Sidang Paripurna DPR Aceh. Awalnya pelantikan terkesan dipaksakan karena belum mendapat persetujuan penuh dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Pihak Kemendagri meminta kepada DPR Aceh untuk melakukan klarifikasi 21 item persoalan yang sudah disampaikan kemendagri terkait qanun Aceh Nomor 8 tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe.

Substansi penting yang harus diperbaiki di qanun tersebut adalah materi di qanun tentang lembaga Wali Nanggroe yang dianggap akan menimbulkan duplikasi kewenangan dengan Lembaga Adat.Dikatakan, di UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh, hanya mengatur mengenai syarat-syarat calon Wali Nanggroe, masa jabatan, dan beberapa hal lainnya. UU tersebut tidak mengatur soal kewenangan dan protokoler Wali Nanggroe. Jika kedudukan Wali Nanggroe tidak jelas, maka nantinya bisa terjadi penyalahgunaan kewenangan alias penyelewengan, yang bisa berdampak pada hukum.

Menurut konstitusi, Perda/Qanun tidak boleh diimplementasikan sebelum disetujui. Namun demikian Ketua Badan Legislasi (Banleg) DPR Aceh Abdullah Saleh mengatakan, revisi Qanun Wali Nanggroe, terutama beberapa isi pasal Qanun Aceh Nomor 8 tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe yang diminta revisi pemerintah pusat sudah dilakukan dalam Sidang Paripurna, Jumat (13/12) lalu.Isi perubahan Qanun, sebelum disahkan DPRAceh, menurut Abdullah Saleh, sudah dikirimkan ke Tim Hukum dan UU Pemeriksa Isi Qanun juga di kirim Kemendagri. Sehingga tidak ada lagi hal yang prinsipil dan bertentangan dengan aturan lebih tinggi, karena semua telah di sesuaikan, terkecuali yang belum diatur, baru diatur, namun tetap mengacu pada aturan yang ada.

Komitmen Setia NKRI

Nantinya pengukuhan Wali Nanggroe akan dilaksanakan dalam Sidang Paripurna DPRAceh. Pengukuhannya tidak sama dengan proses pelantikan pejabat, nantinya wali sendiri akan mengucapkan sumpah atau janji untuk mengemban tugas sebagai Wali Nanggroe. Hal ini senada dengan bunyi dan ruh alinea kedua mukadimah MoU Helsinki bahwa Aceh merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan harus patuh, tunduk dan terikat dengan konstitusi NKRI.

Selain komitmen terhadap kepentingan nasional di Aceh, Wali Nanggroe juga harus bersikap inklusif dan peka dengan berbagai aspirasi rakyat Aceh. Misalnya berkaitan dengan pro-kontra masyarakat mengenai Lembaga Wali Nanggroe,Wali Nanggroe harus memahami fungsi dan tugasnya sebagai pemersatu dan pemimpin adat seluruh rakyat Aceh yang heterogen. Wali Nanggroe juga patut membuktikan dalam upaya mewujudkan fungsi dan tugasnya itu. Mengapa demikiah, melihat ekspresi dan aksi berbagai elemen masyarakat yang kontra semakin massif dan kian meluas, kita khawatir Lembaga Wali Nanggroe tidak berjalan efektif. Jangan sampai dengan lahirnya qanunWali Nanggroe itu justru menjadi konflik baru di antara masyarakat adat Aceh. Seperti lahirnya kembali keinginan pembentukan Provinsi  Aceh Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan (ABAS). Wali Nanggroe itu adalah pemersatu atau lembaga adat, bukan fungsi politik.

Identitas Kebangsaan Wali Nanggroe

Harapan dalam qanun Wali Nanggroe bisa memberikan kebaikan dan manfaat bagi seluruh rakyat Aceh, tentu harus menjadi pemikiran keras seluruh elemen yang ada agar kehadiran Lembaga Wali Nanggroe tidak menimbulkan ‘polemik bahkan konflik baru.Oleh karena itu, penyatuan visi pembentukan Wali Nanggroe Aceh harus dilihat sebagai sebuah identitas kebangsaan bersama yang merupakan bagian dari integritas NKRI harus diberi dukungan dan apresiasi. Artinya kehadiran Lembaga Wali Nanggroe tidak selalu harus dikaitkan dengan kekuatan politik semata.

Hari ini diskursus Wali Nanggroe harus keluar dari cara berfikir setuju versus tidak setuju. Melainkan diskursus Wali Nanggroe harus diarahkan kepada subtansi kemaslahatan dan kesejahteraan secara komprehensif. Dalam artian apa dan bagaimana pola kerja Wali Nanggroe yang harus didiskusikan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan semua etnik di Aceh.Ke depan, Lembaga Wali Nanggroe harus benar-benar di fungsikan sesuai dengan tupoksinya. Dan keberdaan Wali Nanggroe bukan menjadi milik sekolompok masyarakat, melainkan harus menjadi milik semua strata masyarakat Aceh.

Lembaga Wali Nanggroe, jangan hanya di isi oleh satu kelompok saja. Melainkan harus melibatkan semua elemen masyarakat Aceh yang memiliki kapasitas keilmuan dan ketokohannya. Masyarakat Aceh punya hak dan kewajiban yang sama dalam mengisi pembangun Aceh yang lebih baik dan bermartabat. Begitu juga dengan kehadiran Lembaga Wali Nanggroe. Masyarakat harus di dorong untuk mengisi pembangunan Aceh secara bersama-sama. (mar)

Penulis
Datuak Alat Tjumano (Penulis adalahpeneliti senior Forum Dialog (Fordial) danAnalis Senior di LembagaStudiIntelijenStrategis Indonesia (LSISI))
Jakarta, datuak.atjumxxx@gmail.com


Disclaimer

Citizen6 adalah media publik untuk warga. Artikel di Citizen6 merupakan opini pribadi dan tidak boleh menyinggung SARA. Isi artikel menjadi tanggung jawab si penulisnya.

Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atauopini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com



* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini