Sukses

Bekakak, Ritual Masyarakat di Ambarketawang, Jogja

Masyarakat di wilayah Ambarketawang, Gamping Sleman Yogyakarta mempunyai upacara adat yang di sebut Bekakak

Citizen6, Jogja: Masyarakat di wilayah Ambarketawang, Gamping Sleman Yogyakarta mempunyai upacara adat yang di sebut Bekakak atau upacara adat Saparan karena dalam pelaksanaannya selalu jatuh pada bulan Sapar dalam perhitungan kalender Jawa.

Ritual upacara Bekakak adalah sebuah ritual budaya Jawa asli yang bertujuan mengenang kesetiaan salah satu abdi dalem kesayangan Sri Sultan Hamengku Buwono I bernama Kyai Wirasuta dan Nyai Wirasuta.

Upacara adat ini selalu dilaksanakan pada hari Jumat bulan Sapar. Di tahun 2013 ini, perayaan Bekakak jatuh pada hari Jumat 20 Desember mulai pukul 15.00 WIB sampai pukul 18.00 WIB. Pembuatan boneka Bekakak ini dilakukan secara bergilir dari masing-masing dusun. Sebelum dibawa ke pesanggrahan, Bekakak ini diarak mengelilingi wilayah Ambarketawang disertai kirab budaya yang ikut meramaikan ritual adat tahunan ini, diantaranya parade Bregodo atau barisan prajurit, kesenian Jathilan, Reog Ponorogo, Gunungan yang berisi sayuran dan buah-buahan serta boneka Ogoh-ogoh yang berukuran sangat besar menyerupai raksasa.

Setelah dibawa berkeliling, boneka Bekakak dibawa ke pesanggrahan Gunung Gamping. Disana satu persatu sang pengantin dikeluarkan dan disembelih oleh pemerintah setempat. Sesudah upacara penyembelihan selesai, boneka bekakak dibagikan kepada pengunjung.

Dalam ritual adat ini, pemerintah menghimbau masyarakat untuk tidak menyangkutkan dengan kepercayaan atau agama apapun karena tujuan diadakannya acara Bekakak ini untuk memelihara seni tradisi agar tak punah oleh zaman. Tujuan utama dari perayaan ini adalah mengenang kesetiaan sang abdi dhalem yaitu Kyai dan Nyai Wirasuta.

Sekarang kawasan Gunung Gamping dijadikan sebagai kawasan cagar alam, dimana gunung gamping yang dulunya sangat luas sekarang hanya tersisa sebongkah bukit kecil. Lokasi ini dilindungi oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam Yogyakarta, karena batu gamping yang tersisa adalah jenis batuan Eosin yang berusia lebih dari 50 juta tahun yang lalu.

Menurut mbah Gito, salah seorang penjaga di lokasi Pesanggrahan Gunung Gamping, bahwa sekitar tahun 1755 Sri Sultan Hamengku Buwono I yang pada masa itu masih bergelar Pangeran Mangkubumi sedang membangun Keraton yang saat ini berada di kotamadya, sambil mengawasi pembangunan keraton, Pangeran Mangkubumi tinggal di pesanggrahan yang berada di Ambarketawang bersama abdinya yang setia yakni Kyai Wirasuta yang disebut juga dhalem kinasih yang artinya abdi yang dikasihi. Daerah gunung Gamping sendiri adalah pegunungan batu kapur yang dimanfaatkan masyarakat sekitar sebagai mata pencaharian pengumpul batu kapur.

Setelah pembangunan keraton selesai, Pangeran Mangkubumi beserta abdi dhalem hendak kembali ke keraton, namun Kyai Wirasuta beserta istrinya memilih tetap tinggal di pesanggarahan tersebut. Akhirnya Pangeran Mangkubumi pun pindah ke keraton dan bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.

Malapetaka tak diduga terjadi, pada hari Jumat Kliwon di bulan Sapar, Gunung Gamping tempat tinggal sang abdi dhalem kinasih runtuh dan menewaskan kedua abdi dhalem tersebut. Kabar runtuhnya Gunung Gamping sampai ke telinga Sri Sultan yang kemudian memerintahkan para prajuritnya menggali reruntuhan dan mencari jasad abdi dhalemnya. Namun keanehan terjadi, ketika seluruh longsoran berhasil di singkirkan, jasad kedua abdi dhalem tak ditemukan. Masyarakat setempat meyakini Kyai dan Nyai Wirasuta muksa atau menghilang dan masih menempati Gunung Gamping hingga saat ini.

Seiring berjalannya waktu, masyarakat Ambarketawang diresahkan dengan terjadinya musibah yang serupa setiap bulan Sapar dimana para pekerja tertimbun runtuhan gunung. Menanggapi keresahan masyarkat, Sri Sultan menitahkan untuk mengadakan upacara ritual setiap bulan Sapar dengan menyembelih sepasang pengantin Bekakak di pesanggrahan Gunung Gamping untuk menolak bala dan menjauhkan masyarakat dari musibah.

Sepasang pengantin Bekakak ini terbuat dari tepung ketan yang dibuat menyerupai manusia dan didandani seperti pengantin lengkap dengan sesaji yang ditempatkan pada sebuah keranda yang dihiasi berbagai macam bunga maupun dedaunan. Didalam sepasang pengantin Bekakak berisi air gula jawa atau juruh yang diumpamakan darah, sehingga ketika pengantin Bekakak di sembelih, seolah-olah mengeluarkan darah.

Penulis:
Elisabeth Sutriningsih, Mahasiswa Public Relations Asmi Santa Maria Yogyakarta
Jogjakarta, elisabethSXXX@gmail.com

Baca Juga:
Si Gale-Gale, Ikon Festival Danau Toba 2013
Yuk! Wisata ke Dieng, Tempat Dewa-Dewi Bersemayam
Museum AAL Loka Jala Crana Kebanjiran Pengunjung
 

Disclaimer

Citizen6 adalah media publik untuk warga. Artikel di Citizen6 merupakan opini pribadi dan tidak boleh menyinggung SARA. Isi artikel menjadi tanggung jawab si penulisnya.

Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atauopini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com

Mulai 16 Desember sampai 27 Desember 2013 Citizen6 mengadakan program menulis bertopik dengan tema "Resolusi 2014". Ada kado akhir tahun dari Liputan6.com dan Dyslexis Cloth bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini