Sukses

Kurikulum Membingungkan, Pendidikan Terancam

Beberapa waktu lalu saya menyaksikan seorang ibu menangis memohon kepada staf administrasi di bimbingan belajar tempat saya mengajar.

Citizen6, Jakarta:  Beberapa waktu lalu saya menyaksikan seorang ibu menangis memohon kepada staf administrasi di bimbingan belajar tempat saya mengajar. Ia memohon pihak bimbingan belajar agar dapat memfasilitasi kebutuhan belajar anaknya dalam mengikuti sistem Kurikulum 2013 di sekolahnya. Si ibu telah berkeliling Jakarta untuk mencari bimbingan belajar yang bisa membantunya. Namun, hanya sedikit bimbingan belajar yang membuka kelas khusus untuk siswa Kurikulum 2013 dan sebagian besar sudah penuh.
 

Putra wanita ini adalah siswa kelas 7 di SMP terkemuka di Jakarta, salah satu sekolah yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai proyek percobaan untuk implementasi Kurikulum 2013. Pada Ujian Tengah Semester pertama 2013/2014, putranya mendapatkan nilai begitu rendah sehingga ia harus mengikuti ujian remedial untuk setiap mata pelajaran di kelasnya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran besar pada si ibu bahwa si anak tidak dapat naik kelas.

Ibu ini bukan satu-satunya yang mengeluh tentang implementasi Kurikulum 2013. Staf administrasi di bimbingan belajar saya mengakui bahwa ia telah menerima telepon dan kunjungan dari banyak orang tua yang menanyakan hal serupa sejak awal semester. Permintaan dari begitu banyak orang tua siswa akhirnya membuat bimbingan belajar saya membuka kelas khusus baru untuk siswa Kurikulum 2013.

Kurikulum 2013 adalah kurikulum baru yang diluncurkan pada pertengahan tahun ini. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dikritik karena dinilai terlalu terburu-buru menerapkan kurikulum ini hanya untuk mengahabiskan anggaran pemerintah.[1] Pemerintah memilih beberapa sekolah di tiap jenjang pendidikan untuk sepenuhnya menerapkan kurikulum baru sebagai proyek percobaan. Hingga kini, pemerintah tidak mengharuskan sekolah lain untuk mengimplementasikan kurikulum baru sepenuhnya. Saat ini, sekolah lain diperbolehkan untuk memadukan kurikulum yang digunakan sekarang dengan konsep baru dari Kurikulum 2013.

Filosofi inti Kurikulum 2013 menuntut siswa untuk menjadi aktor utama dalam proses pembelajaran. Guru hanya melempar topik belajar kepada siswa dan membiarkan mereka mengeksplorasi sendiri. Guru menjadi fasilitator yang hanya memantau proses belajar siswa, membantu dalam menanggapi pertanyaan, dan menyediakan sumber daya yang diperlukan siswa. Setelah eksplorasi, siswa diminta untuk mempresentasikan temuan mereka di depan kelas.

Model pembelajaran ini mungkin asing bagi model sekolah konvensional di Indonesia yang masih terfokus pada model instruksi top-down. Saya sebelumnya mengetahui jenis pembelajaran ini dari sebuah video di TEDx oleh Sugata Mitra, seorang profesor dan peneliti pendidikan. Pada filosofi pendidikan yang diinisiasi oleh siswa, tanpa banyak bantuan dari orang dewasa, siswa dibiarkan untuk mengeksplorasi topik belajar sendiri dan mereka melakukannya dengan sangat baik. Eksperimen Mitra menggambarkan bagaimana tiga aspek inti dari sifat manusia (rasa ingin tahu, jiwa bermain, dan sosiabilitas) dapat berpadu dengan indah untuk memenuhi tujuan pendidikan. Cita-cita ini adalah apa yang Kurikulum 2013 diharapkan dapat berikan.

Bagaikan pungguk merindukan bulan,  realita dari implementasi kurikulum “impian” ini entah merupakan inovasi kilat untuk melayani tujuan politik atau filofosi yang bagus dengan manajemen proyek yang buruk. Proses perancangan dilakukan terburu-buru, pelaksanaannya pun jadi berantakan. Beberapa pihak bahkan mengatakan bahwa pelaksanaannya terlalu dipaksakan.[2] Ketika semester pertama 2013/2014 dimulai dan kurikulum baru mulai diberlakukan di beberapa sekolah, banyak guru yang belum dilatih dan buku teks belum siap.

Selain itu, banyak guru tidak mengerti tentang peran baru mereka di kelas. Mereka tidak tahu bagaimana membangun lingkungan yang kondusif untuk memicu rasa ingin tahu, jiwa bermain, dan sosiabilitas para siswa. Mereka akhirnya masuk kelas hanya untuk melemparkan topik belajar dan meninggalkan kelas tanpa memberikan bimbingan memadai. Ketika guru kehilangan arah, begitu pula siswa. Siswa dari sekolah dengan sistem Kurikulum 2013 (baik yang telah mengimplementasikan sepenuhnya atau sebagian) di bimbingan belajar saya memberikan komentar yang sama, “Gurunya ga jelas. Jarang masuk kelas. Kami akhirnya ga melakukan apa-apa.”

Di tengah implementasi yang tidak jelas, saya menemukan gambar ini dari sebuah forum pendidikan[3] beberapa minggu lalu. Gambar ini memperlihatkan contoh soal kompetensi Matematika untuk siswa kelas 7 SMP. Gambar ini membuat banyak pembaca kaget. Soal-soal tersebut terlalu sulit untuk siswa SMP. Bahkan tingkat kesulitannya setara dengan Pengenalan Matematika Diskrit di perguruan tinggi. Rekan saya, seorang tutor matematika, memberikan reaksi yang sama. Siswa kelas 7 Indonesia mungkin dapat mengikuti kompetensi tersebut, tetapi mereka belum siap sekarang. Terdapat kesenjangan besar antara kompetensi pendidikan yang mereka terima sebelumnya di sekolah dasar dengan kompetensi baru ini. Kita harus mengatasi kesenjangan ini terlebih dahulu agar bisa memenuhi standar yang baru.

Pada 3 Desember 2013, hasil survei PISA yang terkenal untuk tahun 2012 dirilis. Survey ini dilakukan setiap tiga tahun oleh Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dan membandingkan siswa usia 15 tahun dari berbagai negara untuk kompetensi membaca, matematika, dan sains. Pada PISA 2012, Indonesia menempati peringkat ke-64 dari 65 negara, turun dari peringkat sebelumnya di tahun 2009, di mana Indonesia menduduki peringkat 57 dari 65 negara.[4]

Sebagian pihak menyalahkan kemerosotan ini pada pelaksanaan kurikulum baru yang kacau.[5] Utomo Dananjaya, seorang ahli pendidikan dari Universitas Paramadina, bahkan menyatakan kurikulum baru ini seharusnya tidak diimplementasikan sejak awal. Sebaliknya, Menteri Pendidikan M. Nuh mengatakan bahwa hasil survei PISA 2012 membuat pentingnya Kurikulum 2013 semakin relevan untuk mengatasi ketertinggalan pendidikan Indonesia.[6]

Pemerintah Indonesia berencana untuk menerapkan Kurikulum 2013 secara penuh pada tahun 2014. Namun, pertanyaan apakah kurikulum ini adalah benar yang dibutuhkan Indonesia untuk mereformasi sistem pendidikan tetap tidak terjawab. Jika pemerintah bersikeras dengan kurikulum ini, tentunya masih banyak PR yang harus diselesaikan. Transisi besar seperti ini memerlukan waktu. Tapi apakah terlalu berlebihan untuk meminta pada pemerintah agar melakukan tugasnya dengan memberikan program pelatihan dan sumber daya (buku teks, dokumen) yang kokoh dan tepat waktu, serta saluran komunikasi yang berkelanjutan dan terpercaya mengenai pelaksanaan dan kurikulum ini sendiri kepada berbagai pemangku kepentingan dalam sistem pendidikan? (kw)

Referensi

[1]http://www.thejakartapost.com/news/2013/07/16/govt-rolls-out-new-national-curriculum-despite-criticism.html

[2]http://www.tribunnews.com/nasional/2013/07/11/hanya-proyek-politik-pencitraan

[3]https://twitter.com/bincangedukasi/media

[4]http://www.thejakartaglobe.com/opinion/editorial-pisa-results-should-spur-reform-efforts/

[5]http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/12/06/3/199493/Peringkat-Pendidikan-Indonesia-Jeblok-karena-Kurikulum-Semrawut

[6]http://news.detik.com/read/2013/12/12/010409/2439467/158/mendikbud-survei-pisa-makin-memperkuat-pentingnya-kurikulum-2013

Penulis:
Fanny Rofalina

Baca Juga:
Gerakan Indonesia Juara, Pendidikan Gratis yang Berkualitas
Pembelajaran Bermakna di SMP Muhammadiyah 3 Depok, Sleman
Permainan yang Redakan Paska UAS

Disclaimer:

Citizen6 adalah media publik untuk warga. Artikel di Citizen6 merupakan opini pribadi dan tidak boleh menyinggung SARA. Isi artikel menjadi tanggung jawab si penulisnya.

Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atauopini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com

Mulai 16 Desember sampai 3 Januari 2014 Citizen6 mengadakan program menulis bertopik dengan tema "Resolusi 2014". Ada kado akhir tahun dari Liputan6.com, Dyslexis Cloth, dan penerbit dari Gramedia bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.






* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini