Sukses

Jathilan Oglek di Bendungan Kayangan

Keindahan alam Yogyakarta memang mempesona. Salah satunya adalah Bendung Kayangan yang berada di Dusun Turusan, Desa Pendoworejo.

Citizen6, Yogyakarta: Keindahan alam Yogyakarta memang mempesona, namun sayang masih banyak tempat wisata alam yang belum banyak dikenal masyarakat luas, salah satunya adalah Bendungan Kayangan yang berada di Dusun Turusan, Desa Pendoworejo, Girimulyo, Kulon Progo.

Sebelum sampai ke lokasi bendungan, sepanjang perjalanan mata kita akan dimanjakan hamparan hijau persawahan terassiring dengan jalan yang berkelok-kelok dan udara yang sangat segar. Tempat wisata Bendung Kayangan menawarkan keindahan alam dengan aliran sungai berkelok penuh dengan bebatuan berukuran besar. Lalu ada bukit tinggi menjulang dan salah satu sisi dindingnya berupa dinding tegak lurus dengan tingkat kemiringan 90 derajat yang disebut juga Bukit Kayangan.

Ada pula sebuah mata air yang sangat jernih dan airnya tak pernah habis yang dinamai Sendang Panguripan. Tak kalah penting adalah adanya bendungan yang menampung air dari pertemuan dua sungai yaitu Sungai Ngiwa dan Sungai Gunturan. Bendungan menjadi pertemuan kedua sungai yang berhulu di Gua Kiskendo dan daerah Purworejo.

Dari cerita penduduk sekitar yang telah lama tinggal di sekitar Bendung Kayangan, dahulu tempat tersebut adalah tempat bertapa seorang seorang abdi dalem Prabu Brawijaya bernama Mbah Bei Kayangan yang melarikan diri bersama dua pengikutnya yaitu Kyai Diro dan Kyai Somaitra. Mbah Bei Kayangan inilah yang dipercaya masyarakat sebagai cikal bakal berdirinya Dusun Kayangan. Mereka melarikan diri dari Kerajaan Majapahit. Dalam pelariannya tersebut Mbah Bei Kayangan beristirahat dan bertapa di pertemuan dua sungai yang juga disebut tempuran.

Ketika sedang bertapa, Mbah Bei mendapat wangsit dari dewata untuk membuka pemukiman di daerah tersebut. Selain sebagai pemukiman, Mbah Bei pun membuka lahan persawahan dan membendung aliran sungai untuk menampung air sebagai sumber pengairan dan pasokan kebutuhan air di musim kemarau. Berkat bendungan ini, masyarakat sekitar merasakan manfaat yang luar biasa terutama membawa kemakmuran dalam bidang pertanian.

Untuk menghormati dan mengingat jasa Mbah Bei Kayangan, masyarakat mempunyai tradisi yang disebut "Kembul Sewu Dulur Saparan Rebo Pungkasan Bendung Kayangan" atau tradisi makan bersama-sama seribu saudara pada hari Rabu terakhir di bulan Sapar. Tradisi ini dimulai dengan kirab kelompok kesenian seperti Jathilan Oglek diikuti pembawa sesaji, lalu disusul tamu undangan dan masyarakat umum. Seluruh peserta kirab menuju ke bendungan, lalu kelompok kesenian Jathilan Oglek ini akan mulai beraksi di tepi sungai.

Di sela-sela pertunjukan atau setelah selesai menarikan babak pertama, para penari jathilan akan turun ke sungai untuk memandikan jaran/kuda lumping mereka yang disebut dengan istilah Ngguyang Jaran atau memandikan kuda yang menggambarkan aktivitas Mbah Bei Kayangan yang bertugas sebagai seorang pawang kuda Prabu Brawijaya. Setelah acara memandikan, dilanjutkan dengan acara kenduri yang telah ditata rapi dipinggir bendungan. Sesudah didoakan oleh pemangku adat, makanan kenduri tersebut dibagikan kepada seluruh pengunjung sebagai symbol ungkapan rasa syukur karena dilimpahi kemakmuran.

Ada hidangan khas yang tak boleh ketinggalan dalam ritual ini yaitu bothok lele dan panggang mas. Dalam memasaknya pun tanpa menggunakan bumbu apapun termasuk garam sehingga rasanya tawar. Kedua makanan ini adalah makanan kesukaan Mbah Bei Kayangan semasa hidupnya dan masyarakat khusus membuatnya hanya untuk acara ritual ini saja.

Di musim kemarau air di Sungai Kayangan sangat jernih dan banyak sekali ikan-ikan kecil yang berenang di antara bebatuan. Namun di musim penghujan, debit air akan naik sehingga bebatuan besar akan tertutup aliran sungai yang berair keruh. Belum adanya campur tangan pemerintah dalam mengelola tempat wisata ini mengakibatkan banyak tangan-tangan jahil pengunjung yang membuang sampah sembarangan dan mencoret-coret batu besar dengan cat yang merusak keindahan alamnya. (mar)

Penulis
Elisabeth Sutriningsih (Mahasiswa Public Relations Asmi Santa Maria Yogyakarta)
Yogyakarta, elisabeth.sutriningxxx@gmail.com

Baca juga:
Guci, Pemandian Air Panas dengan Keindahan Alam yang Nyata
Menyusuri Keindahan Alami Gua Kiskendo
Jurang Pulosari, Objek Wisata yang Masih Tersembunyi


Disclaimer:

Citizen6 adalah media publik untuk warga. Artikel di Citizen6 merupakan opini pribadi dan tidak boleh menyinggung SARA. Isi artikel menjadi tanggung jawab si penulisnya.

Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atauopini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com

Mulai 16 Desember sampai 3 Januari 2014 Citizen6 mengadakan program menulis bertopik dengan tema "Resolusi 2014". Ada kado akhir
tahun dari Liputan6.com, Dyslexis Cloth, dan penerbit dari Gramedia bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini