Sukses

3 Jenis Profesi `Liar` di Indonesia dengan Penghasilan Besar

Ada banyak cara untuk mencari nafkah, dari yang biasa-biasa saja sampai yang paling ekstrem.

Citizen6 Jakarta 1. Pak Ogah

Generasi 90-an pasti mengenal pak Ogah. Sosok laki-laki berkepala plontos ini suka meminta uang "cepek" pada orang-orang yang lewat. Pak Ogah kini identik dengan seseorang yang mengatur lalu lintas di persimpangan jalan.

Kerjanya membantu memuluskan jalan bagi pengemudi yang ingin berbelok atau memutar haluan. Caranya dengan memberhentikan atau memperlambat arus lalu lintas yang sedang melaju.

Dengan demikian, pengemudi bisa memutar kendaraannya dengan lancar. Rata-rata pengemudi yang dibantu itu akan memberi imbalan. Jumlah tarifnya tidak ditentukan alias sesuai keihlasan hati si pengemudi. Dari sana muncul penamaan Pak Ogah alias Polisi Cepek.

Lantas pernahkah kamu menganalisa, kira-kira berapa penghasilan Pak Ogah dalam setiap harinya? Data Institut Studi Tranportasi (IST) pernah melansir, setidaknya ada 500 lokasi putaran kendaraan di Jakarta yang dikuasai oleh sekelompok warga atau Pak Ogah. Seorang Pak Ogah yang menjaga putaran minimal 3 jam, sehari bisa mengantongi Rp150.000. Jika dihitung dalam sebulan, maka Pak Ogah bisa mengantongi Rp4,5 juta. Setiap titik rata-rata ditempati tiga orang.

Nah, menurut perhitungan lembaga tersebut, nilai perputaran uang di lingkungan Pak Ogah cukup mencengangkan, yakni Rp4,5 juta x 3 orang x 500 titik putaran. Hasilnya mencapai Rp6,75 miliar.

Akan tetapi, kamu yang ingin berporfesi sebagai Pak Ogah patutnya berpikir dua kali. Ada peraturan hukum yang dapat menejerat profesi Pak Ogah. Yakni, Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum; dan Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 221 Tahun 2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.

Bunyinya, kurang lebih begini. Pada dasarnya setiap orang atau sekelompok orang yang tidak memiliki kewenangan dilarang melakukan pengaturan lalu lintas pada persimpangan jalan, tikungan atau putaran jalan dengan maksud mendapatkan imbalan jasa. Kegiatan pengaturan lalu lintas ini dilakukan oleh orang perorang atau sekelompok orang yang terorganisir dengan maksud memperoleh imbalan uang.

Ancaman hukumnya pun tidak main-main. Terhadap Pak Ogah atau Polisi Cepek yang melanggar ketentuan di atas, dikenakan ancaman pidana kurungan paling singkat 10 (sepuluh) hari dan paling lama 60 (enam puluh) hari atau denda paling sedikit Rp. 100.000, (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp20.000.000,- (dua puluh juta rupiah)

2. Juru Parkir Liar

Ada banyak cara untuk mencari nafkah, dari yang biasa-biasa saja sampai yang paling ekstrem.

Ada dua jenis parkir di Indonesia. Parkir on street dan parkir off street. Untuk parkir yang berpeluang liar dan mengantongi penghasilan besar yakni parkir on street.

Parkir on street ialah parkir yang menggunakan badan jalan sebagai lahannya. Biasanya dikelola oleh pemerintah daerah dengan menggunakan tarif parkir yang telah ditentukan. Namun tidak jarang, para juru parkir yang dipekerjakan, menarik tarif lebih mahal dari yang sudah ditentukan.

Tidak hanya itu, kecurangan parkir on street juga bisa diindikasi dari penggunaan karcis berulang. Juru parkir biasanya menggunakan satu karcis kepada lebih dari satu pengguna jasa parkir on street. Hal ini tentu akan merugikan kas Pemda mengenai setoran hasil parkir bulanan.

Kesal dengan kecurangan seperti itu, Gubernur DKI Jakarta pernah akan mengganti juru parkir dengan mesin Terminal Parkir Elektronik (TPE). Dengan memasang TPE, Ahok, akan menutup celah kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pemungutan retribusi parkir yang saat itu sudah mencapai Rp1,74 triliun.

Perkiraan potensi PAD DKI dari pemungutan retribusi parkir di seluruh Jakarta adalah Rp1,8 triliun. Sementara, data dari UP Perparkiran Dishubtrans DKI menunjukkan PAD DKI dari pemungutan retribusi parkir saat ini hanyalah Rp26 miliar.

"Yang (kebocoran) triliunan rupiah itu jatahnya oknum-oknum ormas, preman, sama oknum aparat di lapangan," ujar Ahok di Balai Kota DKI, Senin, 10 Agustus 2015.

3. Pungli Jalan

Ada banyak cara untuk mencari nafkah, dari yang biasa-biasa saja sampai yang paling ekstrem.

Pungli jalanan nyaris sama dengan Pak Ogah. Bedanya, Pak Ogah muncul di ibu kota sedangkan pungli jalanan biasanya di jalur-jalur yang menghubungkan desa ke kota. Pungli jalanan muncul di jalan-jalan yang rusak atau sedang diperbaiki.

Kondisi jalan yang tidak memungkinkan dilalui dua sisi biasanya akan dikuasai oleh pungli jalanan. Mereka mengatur silih ganti laju kendaraan yang melintas. Saat kendaraan melintas itu lah para pungli jalanan menyodorkan kardus atau apa saja sebagai wadah untuk imbalan yang akan diberikan dari pengemudi.

Ambil contoh aksi pungli jalanan di Polewali Mandar. Warga Kecamatan Bonehau berperan layaknya petugas LLAJ dari Dinas Perhubungan. Mereka menggelar aksi pungli, untuk setiap pengedara sepeda motor yang melintas dikenai Rp 5 ribu, sementara mobil sebesar Rp 10 ribu hingga Rp 15 ribu. Warga beralasan berhak melakukan aksi pungli karena mereka yang bergotong royong membersihkan longsor dan timbunan kayu serta pepohononan hingga jalan bisa dilalui kendaraan, meski dalam situasi darurat.

Kendati para pengendara keberatan dengan pungli itu, namun mereka pasrah dan tak ingin berurusan dengan warga setempat. Mereka berharap pemerintah segera mengatasinya agar tidak dimanfaatkan warga sekitar sehingga membebani pengguna jalan.

Itulah tiga contoh profesi liar yang (hanya) ada di Indonesia. Penghasilan dari profesi itu lumayan besar. Namun apakah pantas, profesi itu dilakukan di Indonesia yang katanya sedang gencar merevolusi mental? (war/kar)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.